Senin, 12 Maret 2012

Diary Stephanie

R.Rahmi Puspa.R
Semua mengenal Indonesia. Indonesia yang terkenal dengan ramah tamahnya. Indonesia yang terkenal dengan demokrasi dan menghargai segala perbedaan. Namun bagiku semua itu omong kosong.
Hai, aku Stephanie Hwang. Meskipun aku senang dipanggil Fany tapi kenyataannya orang memanggilku Tiffany, dan adapula yang memanggilku Angma. Angma! Angma! Angma! Aku benci panggilan itu. Aku berusia hampir 17 tahun. Disini, di negara Republik Indonesia ini aku tinggal bersama nenekku, satu-satunya tempatku bersandar. Aku memanggil beliau dengan sebutan eyang.
. . .
Sinchan, sebuah tokoh anime pernah berkata di salah satu episodenya, “Haduuuh...aku orang paling malang di dunia.” Hahaha aku ingin sekali tertawa dengan pernyataan tersebut. Kata-kata itu berdengung di telingaku, menggetarkan hati yang membuat jantungku berpacu lebih cepat menahan emosi, “Sinchan! Kau pembohong! Dan benar-benar anak laki-laki pembohong!” kukatakan itu dengan lantang dalam hatiku, “Aku! Aku orang yang paling malang! Bukan kau Sinchan!”
. . .
Bel berbunyi pada sebuah Sekolah Menengah Atas Swasta Internasional di daerah Jakarta. Mulailah segala aktifitas pembelajaran. Ya! Pembelajaran lahir dan batin. Pernah suatu waktu aku meminta pindah sekolah pada eyangku, namun eyang selalu menyemangatiku hingga aku pun tak kuasa untuk membantah.
“Hai Angma! Hahaha.” Sekelompok siswi yang sedang duduk di kursi taman itu memanggilku. Aku hanya tersenyum. Sungguh aku sama sekali tak ingin dipanggil Angma.
“Angma! Angma! Angma! Masih berani juga kamu datang kesini!”
Seseorang menghalangi jalanku saat aku berjalan menuju lokerku.
“Aku perlu dengan lokerku.” Jawabku datar. Menurutku percuma melawan mereka.
“Wow! Berani bicara juga kau Angma! Mengapa kau tak langsung saja menuju lokermu?” ucap gadis yang bernama Yuki itu.
“Kalian menghalangi jalanku.” Aku berusaha bersikap tenang.
“Oh...maaf ya...” ujarnya dengan nada mengejek.
“Oke guys, ayo kita pergi!” ajaknya sambil berlalu dan diikuti oleh kedua temannya.
Aku menghela nafas, “Syukurlah. Aku harus cepat-cepat ke kelas nih, aku telat 10 menit.”
Aku langsung menuju lokerku, mengambil kunci dari ranselku dengan terburu-buru, namun saat aku membuka lokerku.
“Awww...sssshhhh...” aku merintih, sakit...tapi aku harus cepat ke kelas atau aku akan mendapat hukuman.
Aku berlari menuju kelas tak peduli pada tanganku. Yang ada dipikiranku saat ini adalah berlari terus menuju kelas untuk mengejar waktu.
Sesampainya dikelas aku meminta maaf pada pak Budi yang sedang mengajar, lalu duduk dikursiku.
Pelajaran terus berlanjut sekitar satu jam. Rasa sakit ditanganku terus berdenyut, aku merintih perlahan, sakit...tanpa kusadari teman sebelahku, Jessi memperhatikanku dan menegurku,
“Tiffany? Kau tak apa?” tanya Jessi padaku dengan setengah berbisik.
“Aku baik-baik saja, terima kasih.”
“Mukamu pucat Tiffany, sebaiknya kau ke ruang kesehatan sekarang.”
“Aku...aku baik-baik saja, tenanglah.” Ujarku dengan senyum yang terpaksa.
“Maaf pak guru, tangan Stephanie terus mengeluarkan darah.” Teriaknya pada pak Budi yang sedang menerangkan materi tentang Antropologi itu. Rupanya sedari tadi Jessi memperhatikan lukaku.
“Jessica, cepat! Antar dia ke ruang kesehatan!” ujar pak Budi.
Jessi mengantarku ke ruang kesehatan. Disana ia menungguiku,
Bu Sari mengobati lukaku,
“Sebaiknya kau pulang Stephanie, beristirahatlah dirumah.”
“Ya, terima kasih bu.”
“Kau perlu aku antar?” tanya Jessi
“Tak apa aku bisa pulang sendiri. Terima kasih banyak ya.”
Jessica pun hanya membantuku mengambil ranselku dan memberhentikan taksi.
“Mencium tangan orang yang lebih tua” itulah yang eyang ajarkan sebagai WNI yang baik, namun kali ini sesampainya di rumah aku hanya mencium pipi eyang dan menyembunyikan tanganku yang di perban,
“Kau pulang lebih awal sayang?”
“Ya eyang, aku tak terlalu sehat.”
“Kau ingin diperiksa ke dokter?”
“Tak perlu eyang, aku hanya ingin istirahat di kamar.”
“Baiklah, eyang takkan mengganggumu.”
Di kamarku yang sejuk ini, aku cepat-cepat berganti pakaian dan berbaring di tempat tidur, aku mengambil buku diari di meja kecil samping tempat tidurku,
. . .


Keesokkan harinya aku berangkat sekolah seperti biasa, yang berbeda hanyalah perban di tanganku,
“Tiffany!” teriak seseorang di belakangku, aku menoleh, rupanya itu Jessica.
“Hai!” aku tersenyum.
“Bagaimana lukamu?” tanyanya.
“Sedikit membaik.”
Kami bersama-sama menuju ruang kelas yang ada dilantai dua, saat kami berjalan menyusuri koridor sekolah yang sepi, di tengah jalan Tiga Rubah menghalangi jalan kami dan kini dengan 3 orang lainnya,
“Huhuhu kami turut sedih atas lukamu, bagaimana rasanya, heh? Hahaha” tawa salah satu dari mereka yang bernama Mika.
Aku diam, aku pikir kalau pun aku lawan takkan ada baiknya untukku.
“Kenapa diam, hah? Aku harap hari ini kau datang untuk mengurus kepindahanmu.”
“Aku takkan pernah keluar dari sekolah ini sampai aku lulus.”
Akh, kenapa mulut ini tak bisa diam sih. Ayolah Fany jangan cari masalah lagi.
“Oh begitu, kau yakin itu yang kamu mau?”
Aku terdiam, tidak! Kalau kau bertanya itu pada otakku aku akan jawab tidak! Aku pikir lebih baik pindah ke sekolah lain daripada disini bersama orang-orang yang kejam macam kalian. Tapi kalau kau bertanya pada hatiku, aku akan jawab Ya! Aku tak tega untuk membantah keinginan eyangku hanya karena urusan pribadiku.
Aku menghela nafas, “Aku bersekolah disini, dan akan tetap disini sampai aku lulus apapun yang terjadi!”
“Tapi kami tak menerima Angma disini!” ujar seorang lagi dari mereka yang bernama Dona.
“Sudah kubilang beberapa kali kalau aku bukan Angma!” teriakku, ingin rasanya aku menangis saat itu juga, namun aku beranikan diri.
“Kalau bukan Angma, lalu apa?!”
“Tiffany, sudah tak usah pedulikan mereka. Ayo kita ke kelas.” Ajak Jessi sambil menarik lenganku.
“Kau masuk duluan, aku akan menyusulmu.”
“Tapi...”
“Sudah, aku akan baik-baik saja.” Aku memaksakan diri untuk tersenyum.
Jessica menatapku sedih, ya! Aku memang menyedihkan!
“Jadi, apa lagi yang akan kalian lakukan padaku?” tantangku.
“Wow! Kupikir pasti kau berlatih cukup keras ya untuk hari ini.”
“Kenapa kalian tak bisa membiarkanku hidup tenang? Terlalu sulitkah kalian untuk tidak mendiskriminasiku?”
Lalu seseorang dari mereka yang bernama Lyn menghampiriku dan...
Akkhhh....
Ia menjambak rambutku. Sakit...jambakkannya begitu keras.
“Kau belum sadar juga, hah?! Berapa kali kami bilang, kami tak suka ada perbedaan!” teriaknya di telingaku.
“Tapi apa perbedaannya?! Aku manusia, sama seperti kalian!”
“Ya! Tapi tidak dengan kulitmu!” ujar satu orang lagi yang bernama Kareena.
“Mengapa bahas kulitku lagi? Aku sudah ditakdirkan seperti ini. Mengapa hanya karena perbedaan warna kulit kalian melakukan hal ini padaku?” mataku merah menahan air mata yang sedari tadi melesak ingin keluar dan tubuhku pun bergetar menahan emosi.
Yuki mendekatiku, lalu...
PLAKK!!
“Dengar baik-baik! Disekolah ini, bahkan anak yang berasal dari Seoul yang terkenal berkulit putih susu pun tak ada yang berkulit sepertimu!”
“Lalu apa urusannya dengan kalian?! Toh, ini pun tak merugikan kalian! Lalu mengapa menyamakanku dengan anak yang berasal dari Seoul?!”
“Kau hanya orang pribumi, dan kami hanya ingin melihat kulit oriental bukan kelainan!”
“Tapi aku tidak kelainan!”
Seorang dari mereka yang bernama Sandara menghampiriku, lalu...
Crrrrrsshhhh....
Tuhan...apa ini?

Aku menangis, air mata ini sudah tak mampu ku pertahankan.
. . .
Malamnya aku kembali kepada diariku,

Keesokan harinya aku berangkat ke sekolah dengan tenang, setelah ku selusuri ternyata ketiga rubah tak masuk sekolah karena kecapaian setelah tadi malam bermain di club. Saat pelajaran berlangsung, pak Sam, guru ekonomiku memperkenalkan murid baru bernama Elizabeth Yuri yang merupakan murid pindahan dari Singapore. Yuri mendapat bangku tepat disebelah bangkuku.
“Hai, aku Yuri.” Katanya sambil mengulurkan tangan padaku, tampaknya ia anak yang ceria. Dengan postur tubuh yang bagus pasti tak lama lagi akan menjadi pembicaraan.
“Aku Tiffany dan ini Jessi.” Aku menjabatnya dan memperkenalkan Jessi padanya.
Sepanjang hari itu kami terus bertiga sambil memperlihatkan area sekolah pada Yuri,
“Aku senang berkenalan dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman baik.” Ujarnya saat akan pulang sekolah.

Sesampainya dirumah,

Pagi menyambut dengan hangat matahari yang menerobos jendelaku. Waktu menunjukkan pukul 6 pagi. Aku beranjak dari tempat tidurku lalu pergi ke kamar mandi dan bersiap berangkat sekolah.
“Eyang, aku berangkat dulu ya.” Pamitku pada eyang yang sedang membantu bibi memasak di dapur.
Sesampainya disekolah, aku langsung menuju lokerku. Dalam hati aku berharap gadis grup rubah itu tak masuk hari ini. Saat aku sedang merapikan isi lokerku,
Ssssrrrzzzz...
Aw! Sakit...
Aku tersungkur di lantai, rasa sengat di pinggangku begitu mengejutkan, lalu aku pun tak sadarkan diri.
Mataku terbuka, kepalaku sangat berat. Beberapa saat kemudian baru aku sadar kalau aku ada di ruang kesehatan. Disampingku ada Yuri, loh dimana Jessi,
“Kau tak apa?” tanyanya khawatir.
“Aku tak apa-apa.” Jawabku sambil berusaha bangun dari tidurku.
Aku memperhatikan sekelilingku, berharap disana ada Jessi,
“Kau mencari Jessi?”
Aku terdiam.
“Jessi tidak masuk, ia sedang mengikuti tes Antropologi di Bandung.”
Aku menghela nafas dan mengambil handphoneku, ternyata disitu ada pesan dari Jessi,
“Hari ini aku tak masuk karna tes di Bandung. Aku akan tinggal disini selama 3 hari. Aku harap Yuri dapat melindungimu lebih dari aku. Doakan aku ya my Mushroom.”
Aku tersenyum, kini aku dapat sebutan baru “Mushroom” .
“Tiffany, sebenarnya kau ada masalah apa dengan mereka?” pertanyaan Yuri menyadarkanku pada apa yang aku alami tadi,
Aku terdiam, aku tak ingin menceritakan dukaku pada Yuri yang ceria, cerita duka tak pantas untuknya. Namun Yuri terus mendesakku, memohon, akhirnya aku ceritakan semuanya. Dia mendengarkan dengan begitu antusias, terlihat raut wajah kaget, aneh, sedih saat aku ceritakan masalahku pada gadis grup rubah itu. Setelah aku ceritakan semuanya,
“Tiffany maaf, tapi apa itu Angma?” tanyanya dengan ekspresi rasa bersalah.
“Angma itu diambil dari bahasa Hangeul Korea yang berarti roh jahat. Aku tak tahu mengapa mereka menganggapku sebagai roh jahat.”
Yuri menggenggam tanganku, “Hanya karna ini mereka melukaimu? Keterlaluan!” wajahnya begitu marah.
“Yuri, kau tahu mereka dimana sekarang?”
“ya! Tadi beberapa orang termasuk aku melihat mereka menyengatmu dengan Stut Gun, akhirnya aku melaporkan mereka ke bagian keamanan sekolah, dan mereka mendapat Skorsing 5 hari.”
Aku tertunduk,
“Sudahlah, ada aku disini. Hmm...bagaimana kalau sekarang kita beli es krim, aku traktir deh.” Ajaknya sambil tersenyum lebar.
Aku tersenyum.
. . .
Di rumah aku berkutat pada buku diariku,


Sarapan pagi dengan orang tercinta memang menyenangkan, begitupun denganku. Pagi ini aku sarapan omelet isi kacang dengan eyang. Nikmat sekali! Masakan bibik dan eyang selalu enak.
Aku berangkat kesekolah dengan memegangi pinggangku, aku memang menyembunyikan masalahku pada eyang. Aku tak mau beliau khawatir.
Aku menuju lokerku, aku belum melihat Yuri pagi ini, lalu...apa itu? Ada selipan surat di lokerku. Dari siapa ini? Akupun membacanya dalam hati.
“Ya Tuhan...apa ini? Apa-apaan ini? Tidak! Tidak! Aku tidak mau!”
Aku berlari pulang ke rumah, aku diam di kamar, aku bilang ke eyang kalau aku mendadak sakit perut dan memperingatkan eyang agar tak keluar dari rumah. Aku menangis. Apa yang harus aku lakukan? Oh Tuhan...cukup!
Suara bel berbunyi, aku mengintip dari jendela, Ya Tuhan...itu pasti suruhannya. Tidak! Aku tidak mau! Eyang mengetok pintu kamarku mengatakan kalau aku kedatangan tamu. Aku terdiam berpura-pura tidur. Setelah dirasa eyang sudah meninggalkan kamarku, aku menyelinap keluar menuju pintu belakang. Dengan sepeda aku yang berkecepatan tinggi aku menuju rumah Yuri, namun ia tak ada disana. Tuhan...kemana lagi aku harus pergi? Beberapa mobil mengikutiku, aku putuskan untuk menghampiri seorang polisi ditengah jalan. Aku menyabet pistol di pinggangnya lalu aku arahkan pada kepalaku. Seketika mobil-mobil itu berhenti, semua yang ada di mobil termasuk grup rubah,
“Diam! Diam kalian semua! Atau aku akan menembak kepalaku.”
Seketika semua orang yang sedari tadi terkejut dengan tindakanku terdiam,
“Kau! Yuki, Sandara, dan Mika! Keterlaluan kalian! Aku tidak akan mengikuti perintah kalian sampai kapanpun! Lebih baik aku mati!” teriakku.
Tuhan...jika ini jalanku, aku ikhlas.
Polisi tadi membujukku untuk melepaskan pistol ini. Semua orang membujukku. Lalu ketiga rubah itu memanggil polisi tersebut. Entah apa yang mereka bicarakan, namun sesaat setelah itu aku merasa ada yang memukul kepalaku. Aku terhuyung-huyung. Pusing. Tapi aku masih kuat, aku lihat grup rubah bilang kalau aku menderita kelainan jiwa. Aku di pegang oleh dua orang yang berbadan besar itu. Aku memberontak. Aku terus memberontak. Tampak dari kejauhan Yuri mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Lalu berhenti tepat di depan kami, ia keluar dan diikuti oleh Jessi,
“Hentikan!” teriak Yuri.
“Aku membawa surat dari kepolisian pusat untuk penangkapan atas nama Yuki, Sandara, dan Mika.” Jelas Yuri.
Semua tercengang, begitu pun aku. Lalu tiba-tiba beberapa mobil polisi datang. Dua orang yang memegangku melepaskanku dan masuk kedalam mobil. Aku yang dalam keadaan hampir pingsan di tangkap oleh Jessi yang langsung memelukku, aku menangis,
“Ssssttt...tenang, tenang. Sudah Fany, sudah.”
Ada adegan kejar-kejaran antara polisi dan komplotan grup rubah. Aku tak tahu apa yang selanjutnya terjadi karna aku langsung tak sadarkan diri.
Saat ku tersadar, aku melihat wajah tua eyangku. Mata eyang sembab seperti habis menangis. Aku tak tega melihatnya. Aku bangun dari tidurku.
“Sudah...kau istirahat saja ya nak.”
“Aku ingin bertemu Yuri dan Jessi eyang.” Lirihku.
Eyang memanggil mereka diluar. Mereka masuk, menghampiriku.
“Apa yang terjadi?”
Yuri tersenyum, “Grup rubah ditangkap polisi atas dasar pemaksaan dan pelanggaran hak asasi manusia.”
Aku menghela nafas, “Lalu bagaimana kalian bisa tepat waktu sampai disana?”
Jessi memelukku, “ Fany, maafkan aku ya. Aku berbohong padamu. Aku pergi ke Bandung hanya 1 hari untuk tes, namun aku juga untuk mencari kejelasan tentang kau selama 2 hari.”
“Aku?”
“Ya! Aku mencari tahu bagaimana kamu bisa mendapatkan kulit seputih susu ini padahal kau orang asli sini dan tak ada keturunan luar. Sempat kuduga kau albino tapi ternyata...” Jessi menghentikan bicaranya.
“Ternyata apa Jess?”
“Ternyata benar dugaanku, kau memang mendapatkan kulit ini dari faktor turunan.”
“Apa?!”
“Ya! Ayahmu berkebangsaan Belanda dan ibumu berkebangsaan Korea Selatan. Kau oriental luar negeri bukan disini. Kau bahkan tak punya hubungan kekeluargaan dengan eyangmu. Eyang hanya ibu yang mengasuh ayahmu waktu ayahmu pertukaran pelajar disini.”
“Sebenarnya aku sudah membaca surat dari grup rubah makanya aku bergerak cepat untuk melaporkan hal ini pada polisi.”
Tak terasa aku mengalir cukup deras. Aku bahkan tak tahu sama sekali dengan pernyataan yang baru disampaikan oleh Jessi. Aku pun tak tahu yang dilakukan Yuri. Aku menangis lalu eyang masuk dan memelukku,
“Maafkan eyang sayang menyembunyikan hal ini padamu, karna ini memang permintaan ayahmu untuk merahasiakan sejarahmu. Maafkan eyang ya Fany.”
Aku tak bisa berbicara apa-apa lagi.

“Kau tahu Fany? Aku sampai bingung mengapa kamu sangat tertarik pada Korea dan lancar berbicara bahasanya padahal kau tak mempelajarinya. Rupanya memang kaulah orang korea itu.”
Aku tertawa. Tuhan terima kasih. Walaupun aku tak tahu rupa orang tuaku namun aku sudah tak mempedulikannya lagi. Kini aku punya saudara dan orang tua yang menyayangiku.

Oh iya, mau tahu apa isi surat dari grup rubah? Ini dia....

“Hai Angma! Kau membuatku mendapat hukuman dari sekolah. Baiklah itu tak apa bagiku. Di balik surat ini ada kartu untuk kau melakukan oprasi plastik agar kau merubah warna kulitmu. Kau harus melakukannya! Atau besok keselamatan eyangmu tak aku janjikan selamat. Kau benar-benar harus melakukannya. Aku sudah membayar biaya oprasimu nanti, dan kau tahu itu sangat mahal! Jadi kau harus melakukannya! Satu lagi, jangan laporkan hal ini pada polisi.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar