Selasa, 13 Maret 2012

Pesan Terakhir dari Sahabat Terbaikku

Yonanda J T R
Tak ada yang lebih menyenangkan bagi seorang pelajar SMA pada hari Minggu selain bermalas-malasan dan menghabiskan akhir pekan dengan bersantai atau pergi bermain dengan teman-teman. Yah, hal itupun yang kerap dilakukan oleh Jingga. Jingga adalah seorang remaja kelas 2 SMA di suatu sekolah negeri di Jakarta.
Jingga termasuk anak yang pintar dikelasnya, namun dia “rada special” karena remaja puteri itu kerap membuat masalah di sekolahnya. Dia sering membuat jengkel guru yang mengajar, namun kenakalannya itu masih dalam batas yang wajar.
Pada suatu hari minggu, tak seperti akhir pekan pada biasanya Jingga yang tak biasa bangun pagi namun pada hari Minggu pagi itu ia sudah siap dengan motor matik kesayangannya. Ibunyapun heran hendak kemana anak bungsunya itu karena Jingga memang tak berpamitan terlebih dahulu.
Ibunya merasa khawatir atas tingkah Jingga pada pagi itu kemudian ibunya mencoba menelepon namun tak ada balasan. Terang saja tak ada balasan, Jingga kan sedang dijalan mungkin. Ibunya berusaha berfikir positiv. Memang ibunya sudah bingung dengan tingkah Jingga karena anaknya yang sering berulah dan membuat masalah.
Ternyata Jingga pergi ke sebuah mall. Untuk apa ia pergi kesana? Ia hendak membeli kado ulang tahun untuk sahabat sekaligus teman sepermainannya yaitu Rizal karena besok Rizal akan berulang tahun. Rizal adalah sahabat Jingga, mereka berteman sejak kecil bahkan mereka tampak seperti saudara kandung.
Setelah berkeliling cukup lama akhirnya ia menemukan sebuah hadiah yang cocok untuk Rizal yaitu ia membeli sebuah jam weker besar. Kenapa jam weker? Karena dengan jam weker tersebut ia berharap sahabatnya itu tak pernah berangkat kesiangan lagi ke sekolah karena sering bangun kesiangan.
Sehabis membeli kado untuk Rizal kemudian ia langsung pulang kerumah. “Assalamualaikum mamahku yang cantik dan baik hati” sapanya dengan suara keras dan lantang. “tak usahlah kau teriak-teriak seperti itu dek, mamahmu ini tidak tuli! Dari mana kau dek? Mamah khawatir anak cewe keluyuran saja” Tanya mamahnya. “hahaha kaya enggak biasanya aja mah, kalem kalem lagi ada projek nih” jawabnya dengan santai sambil pergi masuk ke kamar.
Dikamar ia membuka sebuah box yang berisi foto-fotonya bersama rizal. Ia terkenang akan masa-masa yang sudah ia lewati bersama sahabatnya hingga tak terasa air matanya pun jatuh menetes di pipi lembutnya. sepintas terbesit sebuah pikiran akankah persahabatan mereka tetap terjaga hingga mereka tua ataukah akan terpisahkan? Yah umur tak ada yang tau. Mungkin aku dulu atau dia dulu, gumamnya dalam hati.
Tiba-tiba “kringkringkringkring” handphonenya pun berdering, Suara handphone itu membuyarkan semua pikirannya. Dilihatnya handphone itu dan ternyata telepon dari Rizal. “Hey Jingga, besok aku ulang tahun pokoknya aku ga mau tau besok kamu harus kasih aku kado ya” celoteh rizal tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu. “hah? Emang besok kamu ulang tahun ya? aduuuh Rizal aku mana ada duit, lagi kere nih” sahutnya dengan nada innocent. “alaaah minta dong sama mamah, aku ini kan anak mamahmu juga pasti mamah mau kasih kado juga hehehe” celotehnya lagi. Kemudian percakapan mereka dilanjutkan dengan mengobrol tentang kehidupan mereka.
Keesokan harinya di sekolah Jingga yang berangkat terlebih dahulu tak melihat keberadaan Rizal di dalam kelas. “alaaah paling-paling Rizal bangun kesiangan lagi, biasanya juga seperti itu kan” katanya dalam hati. Tiba-tiba “Jingga… Jingga….” Terdengar seperti suara seorang lelaki memanggil namanya. pandangannya pun berkeliaran mengitari sekeliling kelas, dan ternyata itu adalah suara Rizal. “ada apa sih Zal, aku kira tadi siapa yang teriak-teriak ternyata kamu” Tanyanya. “ga apa-apa Jingga, aku kangen saja sama kamu hahaha. Eh mana kado buat aku? Aku nunggu-nunggu loh kado dari kamu” Tanya Rizal.
“Nih kado buat kamu sahabat terbaik aku satu-satunya, harganya emang ga mahal tapi semoga ini bisa berguna ya buat kamu Zal. Selamat ulang tahun semoga kedepannya kamu bisa lebih baik lagi” doanya untuk Rizal sambil memberikan sebuah kado yang kemaren ia beli. Rizalpun membuka kado tersebut, “jam weker? Seberapa pentingkah jam ini sehingga kamu kasih aku jam weker Jingga?” tanyanya. “heloooo Rizal, penting bangetlah! Selama ini kamu sering bangun kesiangan kan semoga dengan jam weker ini aku bisa membangunkanmu setiap hari supaya kamu ga terlambat lagi berangkat ke sekolah” jelasnya. “Iyadeh Jingga semoga dengan jam weker ini aku bisa bangun di pagi hari ya, terima kasih sahabatku” kata Rizal kepada Jingga. “eeeh kantin yuk, aku belum sarapan nih laper” ajak Rizal. “tapi kan sekarang pelajaran matematika zal, nanti kalo gurunya dateng bisa-bisa kita kena marah. Tau sendiri gurunya killer abis” sahut Jingga. “alaaaah biasanya juga kita kena marah kan kaya ga biasanya aja sih hahaha” merekapun pergi menuju kantin sambil tertawa riang.
Di kantin, Jingga dan Rizal sarapan dengan Rizal yang menelaktir Jingga sebagai telaktiran ulang tahun. “tumben banget kamu bayarin aku makan Zal, biasanya kan kamu pelit hehehe” kata Jingga sambil nada bercanda. Rizalpun menjawab dengan tampang polosnya “kan aku lagi ulang tahun haha semoga tahun depan aku masih bisa menelaktir kamu lagi ya.” Jinggapun terdiam “memangnya Rizal hendak kemana aaah ada-ada saja ini bocah”. Ucapnya dalam hati. Tiba-tiba Rizal mengeluarkan sebuah foto dari dalam dompetnya. “hey liat deh ini foto aku yang terbaru looh kemaren aku baru mencetaknya khusus untuk kamu. nih Jingga fotonya buat kamu, disimpen baik-baik ya buat kenang-kenangan siapa tau saja nanti kamu ga bisa ketemu aku lagi” katanya sambil menyerahkan fotonya kepada Jingga.
“memangnya kamu mau kemana Zal?” Tanya Jingga dengan wajah penasaran. “ga kemana-kemana sih, yaaaa siapa tau aja kamu butuh foto aku kalau kmu lagi kangen aku iya ngga?” hahahahaha merekapun tertawa lepas karena celotehan Rizal tersebut. “zal, udah yuk kita balik ke kelas firasat aku ga enak nih” ajak Jingga kepada Rizal. Akhirnya setelah merasa kenyang mereka kembali ke kelas.
Sesampainya di kelas “Dari mana kalian berdua?” Tanya bu Ela. Jingga menjawab “ah ini bu kami habis dari kantin bu sarapan” Jingga dan Rizalpun masuk kelas dan segera duduk untuk mengikuti ulangan karena memang pada saat itu sedang dilangsungkan ulangan harian oleh bu Ela.
“kamu Rizal, Jingga kerjakan sendiri soal-soal kalian dan tidak usah mencontek! Kalian ini sudah datang terlambat sekarang masih saja terus berulah. Saya tidak mau tau setelah ulangan ini selesai kalian harus menghadap saya di ruang guru!” ucapan bu Ela laksana sebuah gong yang sedang bergenderang dengan kencang. “Bungeng nih kupingku” gerutu Jingga dalam hati. “kamu sih Zal pake acara nyontek segala ke aku lagi, udah tau bu Ela itu galak banget. Cari masalah aja nih kamu pake bawa-bawa aku lagi” ungkapnya kepada Rizal. “ko kamu gitu Jingga? Bukannya kamu juga sering nyontek ke aku? Ko sekarang kamu malah nyalahin aku gitu sih?” tegas Rizal. “aaah semua gara-gara kamu” balas Jingga dengan nada marah.
Ternyata karena kejadian tersebut telah menyebabkan mereka berkonflik besar-besaran. Rizal marah kepada Jingga dan sebaliknya Jinggapun marah kepada Rizal, diantara mereka tak ada satupun yang mau mengalah untuk meminta maaf terlebih dahulu. Sudah 2 hari mereka tak saling tegur sapa, suasana diantara merekapun sekarang menjadi dingin.
Hingga pada hari ketiga Jingga memberanikan diri untuk meminta maaf kepada Rizal “Zal aku minta maaf ya, padahal itu cuman masalah kecil dan spele tapi aku terlalu membesar-besarkan masalah jadinya begini deh. Masa iya kita mau diem-dieman terus? Kita kan sahabat ga sepantasnya kita dingin begini” ucap Jingga dengan nada menyesal. “sudahlah, aku udah maafin kamu ko Jingga aku juga minta maaf ya karena selama ini sudah menjadi sahabat yang kurang baik. Aku Cuma pesen aja sama kamu, jaga sahabat kamu baik-baik jalanilah hidup kamu dijalan yang lurus jangan pernah menyiakan orang tua yang telah berkorban untuk kita karena kita hidup di dunia fana ini hanya sementara. Ok!”.
“ko kamu ngomongnya gitu Zal? Aku sedih dengernya, ko kamu jadi aneh kaya gini?” mendengar ucapan Rizal Jinggapun merasa heran dan kaget, apa yang terjadi dengan Rizal? Sahabatnya yang ia kenal menjadi aneh. Hmm mungkin Rizal udah “eling” kali, ucapnya dalam hati.
Sesampainya dirumah Jingga teringat kembali akan kata-kata sahabatnya itu. Hatinya berkata mengapa ko Rizal aneh banget ya, tak seperti biasanya bahkan wajahnya pun terlihat lebih cerah. Saking lamanya ia memikirkan hal itu sehingga membuatnya tertidur pulas. Malam harinya sekitar pukul 07.00 ia membuka handphonenya yang dari sore diletakannya diatas kasur. Didalamnya terdapat banyak sms dari teman-temannya diantaranya dari Arif yang berisi “Jingga, Rizal katanya kecelakaan? Ada yang bilang meninggal bener ngga?” seketika itu pula wajahnya pucat badannya lemas dan tangannyapun bergetar memegang handphone yang digenggamnya. Saat itu juga ia langsung menelepon mamahnya Rizal dan ternyata benar saja, Rizal meninggal dalam sebuah kecelakaan sepeda motor tadi sore.

Detik itu juga dalam keadaan hujan lebat Jingga pergi kerumah Rizal yang tak begitu jauh dari rumahnya, dalam perjalanan ia tak henti-hentinya menangis. Sesampainya di rumah Rizal Jinggapun melihat rumah Rizal ramai, ia langsung masuk kedalam dan benar saja Rizal sudah terbujur kaku dengan wajahnya yang pucat. Yah Rizal telah meninggal tadi sore, iapun menangis tak kuasa membendung air mata karena kehilangan sahabat terbaiknya itu. Ia tidak menyangka Rizal pergi secepat itu, dan ia baru sadar keanehan-keanehan yang tampak pada diri Rizal beberapa hari yang lalu adalah pertanda bahwa ia akan pergi untuk selamanya.
Keesokan paginya Jingga pergi kerumah Rizal untuk mengantarkannya ke peristirahatan terakhirnya. Ia tak kuasa menahan tangis, pada saat jasadnya dimasukan ke liang lahat. “Ya Allah mengapa Engkau mengambil sahabatku secepat ini? Sungguh aku merasa sedih yang amat terasa dalam sakitnya” tangisnya dalam hati.
Sesampainya di rumah dengan wajah yang sembab Jingga langsung masuk ke dalam kamar dan sepertinya ingin sendirian di kamar. Bahkan pada saat ibunya berusaha menghiburpun tetapi sia-sia karena Jingga masih tetap saja bersedih. Di dalam kamar ia membuka box yang berisi foto-fotonya bersama Rizal dan semua kenangan yang pernah dilaluinya sejak kecil hingga sekarang. Jam weker yang pernah ia berikan kepada Rizal ternyata tak berguna lagi bahkan tak dapat membangunkan Rizal lagi dipagi hari.
Dalam kegalauan malam itu ia menulis disebuah buku.
“mengapa Kau ambil dia secepat ini? Sungguh terlalu muda usianya, dia yang sedang mencari jati diri sedang giat-giatnya menikmati kehidupan mencari teman. Sungguh malam itu aku tak sanggup melihat tubuhnya yang telah terbaring kaku dan melihat wajahnya untuk yang terakhir kalinya. Hanya air mata yang dapat mengungkapkan isi hatiku bahwa hatiku sedang dilanda kesedihan yang begitu dahsyatnya. Tuhan… aku kehilangan sahabatku untuk selama-lamanya, aku mengantarkannya ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Dibawah batu nisan kini kau telah bersandar semoga kau bahagia di alam sana hey sahabat, berjuta kenangan akan selalu tersimpan dan terbingkai rapih di dalam memori otak dan hati ini”.
Setelah beberapa minggu Jingga berduka atas kepergian sahabatnya, sedikit demi sedikit ia mulai bangkit dan melanjutkan kembali hidupnya tanpa Rizal sahabat terbaiknya. Jingga yang sekarang telah jauh berbeda dengan Jingga yang dulu, sekarang ia lebih baik lagi dalam menata hidupnya dan masa remajanya. Tidak ada lagi kenakalan-kenakalan seperti yang dulu kerap ia lakukan, karena ia sadar berkat pesan dari Rizal sebelum Rizal pergi bahwa “DUNIA YANG FANA INI HANYALAH SEMENTARA, MAKA JALANILAH HIDUP DI JALAN YANG LURUS”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar