Selasa, 13 Maret 2012

P E N S I L

Septian Sugara
Kelulusan UN telah di umumkan di seluruh SMA serempak se-Indonesia. Semua siswa menerima hasil kerja keras mereka dalam UN. Ada yang tertawa, ada juga yang menangis. Tampak jelas wajah kecewa ketika mereka yang dinyatakan tidak lulus membuka amplop pengumuman UN. Perjuangan mereka selama tiga tahun di SMA terbuang begitu saja, karena pada akhirnya mereka hanya mendapatkan ijazah paket C, sementara yang lain bersuka ria atas keberhasilannya.
Siang itu, pendaftaran SNMPTN (seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri) via internet sudah dibuka. Para siswa berbondong-bondong mendaftarkan diri agar bisa mengikuti seleksi yang akan dilaksanakan serempak secara nasional itu.
Di sisi lain, tampak dua orang siswa SMAN 5 Cileungsi sedang berbincang-bincang mengenai universitas yang akan mereka ambil.
“Rud, ari maneh rek asup universitas mana??” Tanya adi, teman rudi
“Abi mah rek asup UNPAD wae lah. Ari maneh kamana?”
“ka UNSOED, InsyaAllah”
“Oh…hayu lah silih du’akeun.”
“He-eh hayu atuh.”
Tiga hari kemudian, Udara dingin pagi itu menghamburkan fajar di ufuk timur kota bandung. Hari ini, Rudi dan ribuan siswa SMA lainnya akan menentukan nasibnya dalam Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Setelah melaksanakan shalat subuh, Rudi mempersiapkan diri dan bergegas ke tempat dimana ujian akan dilaksanakan.
Karena jarak dari rumahnya ke UNPAD kurang lebih sekitar 1 kilometer, ia memutuskan untuk menumpang angkutan umum. Dalam mobil yang sama, ia bertemu dengan teman-temannya dari sekolah yang sama. Ternyata mereka masing-masing mendapatkan no ruangan yang berbeda-beda. Sebuah tantangan harus di hadapi Rudi ketika sekitar 200 meter menuju tempat ujian, tiba-tiba mobilnya mogok. Ia harus berjalan kaki bersama teman-temannya yang lain. Belum lagi, ketika sampai di gerbang UNPAD, ia harus mencari ruangan sesuai nomor ujian yang ia terima.
Setelah 10 menit memutari kampus sambil membawa kartu ujian, akhirnya ia menemukan ruangan yang ia cari. Ruang 37, Universitas Padjajaran. Siswa siswi SMA dari berbagai sekolah yang berbeda memasuki ruangan. Setidaknya, menurut tabel yang ia liat di pintu ruangan akan ada empat pengawas di ruangan itu dengan jumlah peserta 20 orang. Rudi duduk di kursi keempat baris kedua. Ia melihat ke sekitarnya. Tak ada seorangpun yang ia kenal. Ia memutuskan untuk keluar ruangan sejenak, kemudian kembali ke masuk ruangan bersamaan dengan empat orang pengawas yang membawa soal di tangannya. Tampaknya mereka adalah dosen universitas padjajaran
“ujian akan dimulai 10 menit lagi” pengawas mengingatkan. Semua peserta mempersiapkan alat tulisnya.
“lima menit lagi” suasana semakin tegang. Rudi menyempatkan diri berdo’a. ia menengadahkan tangannya kemudian beberapa kali mengusap keringat di kepalanya.
“baik, saya akan membacakan tata tertib ujian SNMPTN” pengawas memegang selembar kertas sambil bersiap untuk membacanya. Sementara pengawas yang lain membagikan soal dan lembar jawaban.
“peserta tidak diperbolehkan keluar masuk ruangan, dilarang mengaktifkan handphone atau alat komunikasi lainnya, dilarang mencontek, dan tidak dibenarkan untuk meminjam alat tulis dari peserta lain. Apabila peserta melanggar peraturan diatas, ia akan dikeluarkan dari ruangan dan secara otomatis dianggap gugur dalam ujian SNMPTN tahun ini. Baik, jika sudah siap silahkan kerjakan soalnya 120 menit dari sekarang” pengawas menekan stopwatch, tanda ujian sudah dimulai.
Rudi membuka lembar demi lembar soal dihadapannya. Sesekali, dia mengerutkan kening kemudian kembali melanjutkan pekerjaannya. Hampr dua jam ia terlihat begitu serius. Sampai tiba-tiba..
“ah!” seseorang disampingnya mengaduh, membuyarkan konsentrasinya. Rudi memperhatikan orang di sebelahnya itu. Rasanya, wajah itu begitu asing. Pantas saja, ternyata ia berasal dari sekolah yang berbeda dengan Rudi. Wajahnya kusut, tangannya menggenggam pensil yang patah di bagian ujungnya. Sementara tangannya yang lain mencengkeram rambut seolah menandakan bahwa dirinya sedang dalam masalah. Saat itu juga, Rudi langsung dapat menyimpulkan apa yang terjadi. Beberapa menit Rudi terdiam. Menunggu pengawas lengah. Dan ketika saat yang pas itu datang, sesegera mungkin ia menyodorkan pensil kepada siswa di sampingnya. Kemudian ia langsung melanjutkan mengerjakan soal.
# # #
Pagi membawakan aura sejuk dalam panasnya kota Jakarta. Kendaraan menjadi padat dan aktivitas sudah dimulai, bahkan sejak dini hari. Bus-bus kota, sepeda motor dan kendaraan pribadi lainnya berebut tempat di jalan raya untuk segera sampai di tempat tujuan masing-masing tanpa terlambat. Sementara itu, di suatu sudut lain di kota Jakarta. Seorang laki-laki, berusia sekitar 23 tahun berdiri di depan cermin. Ia mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna hijau dan celana. Rambutnya tersisisr rapi dan badannya begitu wangi. Ia berharap, hari ini akan menjadi hari keberuntungan baginya. Ia kembali mengambil berkas yang sudah beberapa hari ini sudah ia bawa kesana kemari, untuk melamar pekerjaan.
Dari kostan nya di daerah pasar senen, ia beranjak ke daerah senayan dengan bus trans Jakarta. Asanya menggebu-gebu. Ia sangat berharap hari ini akan mendapat pekerjaan. Kembali teringat, ibu dan bapaknya di bandung. Mereka memeberikan semangat padanya semalam tadi melalui telepon seluler.
Setelah tiba di senayan, langkahnya terhenti di sebuah gedung tinggi. Beberapa orang asing berlalu lalang di tempat itu. Dalam hati ia bergumam, apakah ia cukup yakin untuk melamar pekerjaan di tempat ini. Hening. Sampai akhirnya, ia melanjutkan langkahnya memasuki kantor super besar itu.
# # #
“baik, silahkan memperkenalkan diri” ucap seorang laki-laki berbadan tegap yang mengenakan jas. Ia adalah seorang manajer di salah satu perusahaan asing di Jakarta.
“Nama saya Rudi Nugraha” sang manajer menghela nafas. Rasanya ia mengenal nama itu.
“saya lulusan ilmu komunikasi universitas pasundan tahun 2009. IPK 2,5”
“mampu mengoperasikan komputer?” Tanya si manajer
“sedikit” ia mulai gugup
“memiliki kemampuan berbahasa asing?”
“tidak begitu baik”
“ok, satu pertanyaan lagi. Mengapa anda tidak melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi negeri?” deg. si pelamar kerja terdiam. Matanya nanar. Tubuhnya mendadak lemas.
“saya.. tidak lolos ujian SNMPTN” jawabnya terbata-bata. Ia kembali terdiam, lalu menundukkan kepala.
“baiklah, kamu saya terima menjadi kepala divisi”
“kepala divisi?” ia terkejut.
“bagaimana bisa? Saya bukan lulusan perguruan tinggi negeri. Saya tidak begitu mengerti komputer, dan bahkan tidak mahir berbahasa asing. Apakah bapak tidak salah bicara?”
Tiba-tiba si manajer menatapnya dengan mata tajam. Hembusan nafasnya membuat suasana semakin dingin.
“kamu tau mengapa kamu tidak lolos seleksi SNMPTN?” rudi menggeleng. Sekelebat rasa heran tiba di kepalanya, namun ia hanya membisu.
Manajer terdiam sesaat. Kemudian melanjutkan perkataannya.
“apakah kamu ingat, tujuh tahun yang lalu kamu pernah menolong seseorang. Kamu pernah meminjamkan pensil ketika ujian SNMPTN, bukan? dan saya adalah orang yang kamu tolong itu” rudi langsung menengadahkan wajahnya. Matanya terbelalak. Ia masih tak yakin tentang apa yang baru ia dengar.
“Terima kasih banyak” sambung si manajer sambil mengguncangkan bahu rudi.
“Kamu tau, berkat pertolonganmu saya dapat meraih semua yang saya impikan. Saya berhasil menjadi mahasiswa UI dengan IPK gemilang 3,9. saya bekerja sebagai manajer seperti sekarang ini, menemukan hal-hal baru, dan hidup berkecukupan.. semua ini berkat jasamu. Saya ingat betul ketika pengumuman, namamu tidak tercantum. Saya adalah orang yang paling merasa bersalah. Kamu tau, ketika kamu melemparkan pensil, saya ingat betul bagaimana mereka diam-diam mencoret namamu dari daftar peserta. Itulah yang menyebabkan kamu tidak bisa masuk perguruan tinggi negeri. Karena sebuah pensil. Karena sebuah niatan ikhlas untuk menolong, bahkan walaupun saat itu saya tidak mengenalmu. Sejak saat itu, saya berjanji untuk membalas budi kepada orang yang telah dengan ikhlas membantu saya meminjamkan pensil. Jika tanpa pensil darimu, mungkin saya sudah gagal dan tidak bisa menjadi seperti sekarang ini” sang manajer mengembangkan senyum.
Ia lalu mengambil sesuatu dari laci mejanya. Sebuah kotak, berisi pensil
“sampai sekarang, saya masih menyimpan pensil itu dan berniat mengembalikannya kepada pemiliknya. Dan saya sangat bangga, karena saat ini orang yang tulus itu sekarang sudah berada tepat di hadapan saya” rudi menerima kotak itu dengan penuh haru. Ia tidak menyangka, sebuah pensil yang menurutnya sederhana bisa berbuah manis seperti ini.
“Dan jika dibandingkan dengan sebuah pertolongan yang tulus, posisi sebagai ketua divisi yang saya berikan sangatlah tidak sepadan. Saya masih berhutang budi pada anda”
# # #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar