Selasa, 13 Maret 2012

GANTI HATI

Sena Indra P
“ Ya Allah ya Tuhanku
Aku mohon gantilah hatiku
Karena hati yang aku pakai sekarang ini
Bukan lagi hatiku”

Malam semakin larut, kopi panas menguap ke udara bersama kantuk yang menjemput. Aku duduk dekat jendela, memandang hujan yang baru saja turun. Namaku Sena, siswa sekolah menengah atas di kota kecil tepi laut. Aku tak punya kakak maupun adik, hanya seorang bapak dan ibu yang selalu sabar mendidikku. Malam itu tak seperti malam-malam yang lain, beranjak usai menunaikan shalat isya, aku tak lekas tidur. Hanya sekali-kali membuka lembaran-lembaran materi yang sempat aku rangkum.
Tidur sedikit mirip dengan mati, kita tidak tahu kapan kita akan tidur. Se-tidak ngantuk apa pun kita, toh akhirnya terlelap juga. Bangun dari tidurku yang kurasa singkat, seperti biasa aku ambil wudhu dan kutunaikan shalat shubuhku. Usai shalat, tak lupa aku berdo’a. Sering terbesit dalam pikirku saat berdo’a, rasa malu untuk meminta kepada-Nya. Karena aku tahu, orang macam apa aku ini. Tapi aku selalu yakin, Allah akan selalu ada untukku, dengan segala kesalahanku, dengan semua pengkhianatanku kepada-Nya, aku tetap meminta dan memohon. Tak lama aku berdo’a, aku masih belum pede untuk meminta banyak, aku bangkit dari dudukku dan bergegas pergi ke kamar mandi. Masih cukup dingin rupanya, jadi kuurungkan niatku untuk mandi. Tercium aroma masakan yang tidak asing bagiku, tumis kangkung pikirku. Seorang wanita perkasa sedang berjuang dengan spatulanya mengaduk aduk semua yang mungkin mau ia aduk, ku panggil ia mama.
“ambuneeeeee” godaku dengan logat khasku.
“masak apa nih?” tanyaku basa basi.
“ada deh” jawabnya dengan senyum yang tak tertinggal.
Hari itu hari rabu, jadi ia sempat memasak untuk sarapan keluarga kecil kami, karena hari Selasa dan Kamis ibuku ini tak sempat masak. Ia harus bangun pagi-pagi sekali karena ia ditunjuk sebagai Instruktur club senam Jantung Sehat. Aku bangga saja dengan kegiatannya yang satu itu, jadi tak masalah jika tiap selasa dan kamis aku dan bapakku harus sarapan di warung dekat rumah. Setelah matahari sedikit tampak dari balik genting gedung sekolah swasta depan rumahku, aku beranjak dari lamunku di pagi itu. Melanjutkan kegiatan mandiku yang sebenarnya belum dimulai tadi.
Jam dinding rumahku yang sengaja dilebihkan 5 menit sudah menunjukkan pukul 6 lebih 40. Artinya, jika di konversikan dengan jam sekolahku kemungkinan di sana masih jam 6 lewat 35. Aku sih santai saja, jarak sekolah dengan rumahku hanya sekitar 500 meter. Jadi tak perlu khawatir terlambat dan dipulangkan. Peraturan sekolahku sekarang lebih ketat semenjak pergantian kepala sekolah. Bagus menurutku, namun tak senada dengan segelintir teman yang harus menempuh jarak yang lumayan jauh dari sekolah, sehingga kerap kali mereka terlambat.
Sekolah sudah cukup ramai ketika aku datang, aku ingat mendapat giliran piket kelas jadi aku bergegas menuju kelasku yang berada di lantai dua. Kunaiki tangga curam dekat kelas, riuh rendah suara teman-teman kelasku mulai terdengar.
“Assalamualaikum” salamku.
“Walaikum salam” jawab beberapa temanku yang mendengar. Di dalam kelas seperti biasa sangat ramai. Bermacam-macam aktivitas kami lakukan, namun ketika bel berbunyi, semua tahu bahwa sudah saatnya untuk membaca kitab suci bersama-sama.
“Eh, ekonomi ulangan?” tanya Fajri temanku.
“Ulangan apa maning?” jawabku tercampur bahasa lokal.
“Cih, jare ibu ulangan jeh” tegasnya dan ikut-ikutan berbahasa lokal.
“ia jeh sen, kata ibu tuh ulangannya hari ini” tambah uyung temanku. Aku sebenarnya tak masalah mau ulangan hari apapun, jadi kutaruh tasku dan kubuka Al-Qur’anku.
Belum usai kami membaca Al-Qur’an, bu Aan, guru ekonomi kami masuk. Aku bertanya dalam hati, kenapa ia tak membawa lembaran soal seperti lazimnya hendak ulangan?. Jadi sempat terfikir olehku bahwa hari itu tak jadi ulangan.
“Ambil kertas selembar” perintahnya usai kami membaca Al-Qur’an dan berdoa.
Rupanya dugaanku meleset. Ulangan kali ini berbeda dengan ulangan-ulangan sebelumnya, karena ia mendiktekan soal-soal ulangan kali ini. Pantaslah jika bu Aan tidak membawa selembarpun kertas soal untuk ulangan kali ini.
Sudah 15 menit berlalu sejak titah bu Aan kepada kami soal ulangan kali ini. Para pemburu pun mulai gelisah mencari mangsa, inilah atraksi paling spektakuler jika kita hyperbolakan tindakan contek-mencontek ini. Aku bukan salah satu yang tidak termasuk pencontek, ya, di kelas ini semuanya punya strategi yang beraneka ragam dalam pencarian jawaban, termasuk aku tentunya.
“sen, tiga apa?” tanya salah seorang temanku memulai aksinya.
“belum” jawabku singkat, tak mau aksi kami tertangkap pihak berwajib.
“hendra sih?” lanjutnya menyuruhku melihat jawaban Hendra si peringkat pertama kelas ini.
“sama aja hendra sama saya tuh” jawabku kemudian. “tanya anak baru aja tuh” kataku.
“mong galah, pelit” jawabnya sambil melirik ke salah satu teman kami yang disebut anak baru hanya olehku, padahal dia bukanlah anak baru.
Unik memang, ketika hal ini kami lakukan dan menjadi lazim karenanya. Tak pernah kami ingat kapan pertama kalinya kami mencontek, yang pasti sejak lama tentunya. Sering kali kami bertengkar dengan satu sama lain tentang hal ini. Karena ada saja teman yang hanya mau menang sendiri, seperti tidak memberi jawaban ketika ia sudah selesai, padahal dia juga mendapat wangsit dari teman-teman yang lain. Kerap kali hal itu membuatku jengkel, dan berniat takkan membantunya lagi untuk hal apapun. Tapi aku selalu ingat, bahwa banyak macam manusia di duna ini beserta sifatnya ang bermacam-macam pula. Termasuk aku yang juga punya sifat yang tentunya amat tidak sempurna. Rasa itu membuatku lelah untuk befikir, mengkaji dan menilai satu persatu tentang aku dan teman-temanku. Tak perlu memang, karena aku juga bosan. Tapi, setiap kali rasa itu muncul, sesuatu dalam hati ini menolak untuk toleran.
Sesuatu dalam hati ini sangat ingin kubuang, sering aku berfikir dan bertanya-tanya, apa hati yang aku pakai ini bukan lagi milikku? Karena kadang kala tak sanggup aku mengendalikannya. Pantaslah, jika dalam selipan do’a-do’aku kepada-Nya, sering aku meminta untuk dganti hatiku ini. Lucu kedengarannya, aku sendiri saja tak mengerti apa maksudku. Apakah aku memang ingin memiliki hati yang lebih baik dan lebih bersih? Atau aku hanya ingin mencari kambing hitam atas kedzalimanku? Semua pikiran itu melayang-layang dalam lamunku, dalam do’aku dan dalam mimpiku.
Hari itu kulalui seperti biasa, pikiran-pikiran burukku tentang orang-orang di sekelilingku selalu ada. Tindakan-tindakan yang mungkin membuat mereka tak nyaman denganku pun tak terlewat. Entah apa mereka juga setidaknya pernah terfikir akan hal sepertiku tadi? Yang pasti sampai sekarang mereka tetap ada tanpa pergi dari sekelilingku.
Jam istirahat di sekolahku terbagi dua, yang pertama pukul 10.15 dan yang kedua sesaat usai adzan dzuhur berkumandang. Setiap senin sampai kamis aku selalu membawa bekal ke sekolah, karena pada hari itu para siswa pulang pukul 14.15, jadi tak sempat aku makan siang di rumah. Ada dua temanku yang kadang aku hindari ketika jam makan siangku mulai, mengapa? Karena kadang kala mereka mengganggu jam makan siangku, seperti hari ini.
“sena ya makan sendirian aja” ungkapnya seperti biasa. Dan seperti biasa pula, aku tak merespon.
“bagi gah” tangannya mulai mengambil kerupuk yeye di hadapanku. Aku tak menolak, tepatnya tak bisa aku menolak.
Mulailah pikiran jelekku terhadap temanku yang satu ini muncul. Dengan keras aku mencoba membuang fikiran itu, membersihkan hatiku dengan dugaan-dugaan kotor, mencoba berfikir positif terhadapnya, toh hanya kerupuk, pikirku. Setelah itu pun ia pergi entah kemana, tapi seorang lagi muncul. Berbeda dengan temanku yang tadi, ia hanya melihatku ketika makan, tanpa komentar, tanpa tindakan, hanya melihat. Bila aku adu pandang dengannya, ia pura-pura melihat ke arah yang lain. Masalah utamanya adalah dia ini anak perempuan, membuatku sangat risih karena ia memang dikenal doyan makan, tubuhnya saja lumayan gempal. Untungnya ada beberapa temanku yang bertubuh gempal, jadi tak terlalu menghardik bila aku ceritakan.
Usai makan aku pergi ke masjid sekolah, ku tunaikan dzuhurku. Aku selalu beranggapan bahwa jika perut lapar maka shalatku takkan tenang. Jadi aku sering kali makan siang terlebih dahulu.
Tunai sudah shalatku, tanganku menengadah dan mencoba mengevaluasi diri. Mengingat ingat lagi apa saja yang aku perbuat tadi, apa yang aku pikirkan tadi dan apa yang aku rasakan tadi. Lagi, lagi dan lagi, yang aku minta adalah digantiNya hatiku, tentunya selain sukses ujian yang akan segera aku hadapi.
Beranjak aku kembali ke kelas, aku sapa orang-orang yang aku kenal. Jarak antara masjid dengan kantin cukup dekat, jadi mudah bagiku menemukan teman-temanku. Suasana kantin sangat ramai seperti biasa, hanya ada beberapa bangku yang kosong. Aku pergi mengitari kantin-kantin dari kantin satu sampai sepuluh, tak kutemukan makanan yang aku cari. Aku paling suka dengan cireng yang dijual di kantin 4, sayangnnya mungkin aku terlambat dating, dan alhasil habislah sudah jajanan favoritku itu.
“ka senaaa, traktir sih” sapa salah satu adik kelasku, Rosa namanya. Ia datang bersama Indah sobat karibnya. Mereka berdua ini adalah salah satu anak didikku ketika aku masih menjadi instruktur Pramuka di SMP mereka. Namun kini mereka sudah satu sekolah denganku.
“sini uangnya” jawabku kemudian.
“dih pelit ka sena tuh” sambung si Indah
“bong, uang saya mana?” teriak sofyal dari kejauhan. Sofyal juga termasuk salah satu dari anak didikku tadi.
“dih ga tau, di Indah kali” balasnya.
“enak aja, mana saya tau” elak Indah sambil memukul lengan Rosa.
“dih galah, ka sena sih” ucapnya sambil menghampiri kami.
“lah, saya jeh”
Obrolan kami berlanjut ke berbagai macam hal, dari yang penting sampai yang sangat tidak penting.
“door!!!” Vivi dan Sofie berusaha mengagetkan. Meskipun kami tak kaget akan hal itu. Entah sengaja atau tidak, Vivi dan Sofie juga termasuk anak didikku dulu, jadi kami berkumpul seolah sedang reuni ketika mereka SMP dulu. Mungkin mereka lebih tepat disebut adik didikku dari pada anak didikku. Kami memang sangat akrab, meskipun anggota mereka yang laintidak satu SMA dengan mereka, tapi hubungan satu sama lain terjalin sangat baik. Itulah yang sangat aku kagumi dari bocah-bocah kecil ini, tak pernah aku dengar perpecahan sekecil apapun antara mereka, bahkan lebih dari itu, aku banyak belajar dari mereka.
Tak terasa dentang bel pun berbunyi, kamipun berhamburan meninggalkan kantin menuju kelas masing-masing. Aku bertemu angel dalam perjalananku ke kelas, ia merupakan mantan ketua osis di seklah kami.
“pokee” sapaku memanggilnya. Kami memang cukup akrab, jadi kerap kali aku memanggilnya poke, entah apa artinya kami juga tak tahu.
“haai” sapanya kembali.
“masuk undangan ga?” tanyaku.
“Alhamdulillah, kamu?” tanyanya balik.
“dari 19 orang yang diterima, saya urutan ke 20” jawabku menggebu-gebu.
“hah? Nyesek bangetlah” katanya dengan nada terkejut.
“yaah, begitulah” kesahku.
Kami berpisah di persimpangan antara kelas kami. Aku bergegas masuk karena sepertinya sudah ada guru di dalam kelas.
Jam pelajaran terakhir adalah matematika, pak Carnoto, guru matematikaku ini memang sangat rajin. Sangat jarang ia tidak masuk mengajar, kalu dihitung-hitung, tidak lebih dari lima kali ia tak mengajar. Yang aku kelauhkan adalah, kenapa jadwal pelajaran matematika di kelasku selalu di jam terakhir? Padahal kami sudah sangat lelah dan konsentrasi kamipun sangat terkuras.
Tidak Sedikit diantara teman-temanku yang tertidur dalam kelas ketika pelajaran ini. Pak Carnoto pun sedikit maklum, tapi tetap menyemangati kami untuk bisa menguasai pelajaran yang ia sampaikan.
“pak, itu 4 dari mana pak?” Tanyaku berusaha memahami yang beliau sampaikan.
“mana? Ini?” sambil menunjuk hal yang aku tanyakan.
“ia” jawabku
“oke-oke, ulang lagi ya” sambungnya lalu mulai menjelaskan.
Aku tetap berusaha memahami apa yang disampaikan olehnya, meskipun tetap saja mata ini seperti diberi lem.
Akhirnya berakhir sudah kegiatan belajar mengajar, jam dinding sudah menunjukkan pukul 2.15, aku dan teman-teman yang lain segera berkemas, berdo’a sebelum pulang dan berlalulah kami semua meninggalkan kelas.
Aku setel motorku di parkiran, aku panaskan sejenak dan pergilah aku pulang. Cukup padat memang mengingat banyak juga teman sekolahku yang membawa kendaraan. Panas juga udara hari ini, membuatku ingin segera pulang, mandi lalu istirahat.
***
Malam semakin larut, kopi panas menguap ke udara bersama kantuk yang menjemput. Aku duduk dekat jendela, memandang hujan yang baru saja turun.Malam itu tak seperti malam-malam baru-baru ini, beranjak usai menunaikan shalat isya, aku tak lekas tidur. Hanya sekali-kali membuka lembaran-lembaran materi yang sempat aku rangkum. Mengingat do’aku yang akhir-akhir ini aku panjatkan kepada-Nya. Rasa heran, kenapa aku begitu ingin mengganti hati? Pikiran-pikiran yang sudah lama aku pikirkan, namun tak kunjung aku dapatkan jawaban.



Hujan sudah reda, jangkrik-jangkrik mulai berbisik di semak basah. Aku bangkit dari lamun semuku, mencoba terpejam dan memulai lagi hari-hariku. Jika memang Ia masih mengijinkan.

“ Ya Allah ya Tuhanku
Aku mohon gantilah hatiku
Karena hati yang aku pakai sekarang ini
Bukan lagi hatiku”


“Untuk apa kau ganti hatimu?.
Jika hatimu telah diganti oleh-Nya
dengan hati baru yang putih bersih
Maka kau pasti akan menodainya lagi.
Lebih baik kau bersihkan hatimu yang sekarang
dari segala noda yang kau cipratkan
dan jangan kau nodainya lagi, lagi dan lagi.
Maka, hatimu tetap milikmu”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar