Selasa, 13 Maret 2012

LABIRIN KECIL

Rizqy Amalia
Semburan cat spray beragam warna berhamburan membasahi baju-baju seragam putih kami, membentuk garis-garis penanda sebuah kebebasan. Kami bersorak saling menyalami satu sama lain. Merayakan sesuatu yang kami sebut kelulusan. Sesekali juga spidol besar bertinta hitam menghujam dan menghujani tubuh kami dengan berbagai kata-kata kenangan. Tak ada yang mengelak, bahkan masing-masing kami terus meminta. Meminta dibubuhi sekedar tanda tangan dan kalimat-kalimat perayaan di dada, lengan, kerah dan seluruh bagian yang belum bergurat dan berwarna. Kepada siapa saja, bahkan yang tak pernah dekat sekalipun. Semua menjadi satu dalam rangkaian kebahagiaan keberhasilan di hari terakhir ujian.
Ipang yang paling bersemangat, apalagi pada baju-baju siswa perempuan. Ia salah satu teman sekelasku yang berhasil membuat rekor terbanyak dijemur di tengah lapangan sepanjang sejarah lima belas tahun berdirinya MTs Al-Islamiyah. Namanya terpampang besar-besar di papan pengumuman sekolah sebagai siswa yang memiliki catatan datang terlambat paling banyak dan sempat terancam dikembalikan ke orang tuanya. Di sini, di MTs Al-Islamiyah orang pantang menyebut kata-kata dikeluarkan. Tabu dan memalukan, benar-benar terhina jika terhukum demikian.
“Ustad, sini mana baju lu, biar gue buatin kata mutiara yang nggak bakal elu lupain seumur hidup!” ucapnya sambil menarik bajuku dari belakang, kemudian mulai mencorat-coret di bagian yang masih kosong.
“Jangan kata-kata kotor ya!” sungutku cepat takut-takut ia menulis yang macam-macam.
“Tenang, nggak pantes kalau di baju ini mah.”
Ipang tertawa, tangannya masih gesit menulis tiap kata. Rasanya sangat panjang, aku begitu tidak sabar ingin segera membuka baju untuk membacanya.
Riuh ramai di sekitarku dengan cepat redam, lalu tiba-tiba sunyi. Beberapa anak berlarian ke segala arah hendak menyelamatkan diri. Aku dengan cepat menengadahkan wajahku yang dari tadi menunduk menunggu Ipang selesai dengan esaynya. Mataku terbelalak mengikuti desir nadi yang meningkat dengan cepat. Jantungku berseragam dengan urat di pergelangan tanganku itu, kini organ terpenting di bagian dada sebelah kiri itu memompa darahku makin cepat dan tak terkendali. Wajahku tiba-tiba pucat dan kelu.
Pak Muksin berdiri melotot dengan tatapan yang sangat menakutkan bersama seorang petugas keamanan yang berdiri di sebelahnya dengan sebuah pentungan dari rotan terjinjing di tangan kirinya. Mereka menatapku dan yang lainnya yang kini hanya bisu dan mematung terjerat sorot nyinyir guru BP itu. Ipang juga ternyata tidak sempat menyelamatkan diri, ia berdiri disampingku sambil meremas-remas bajuku gemetaran. Sempat kulirik wajahnya yang kini mulai basah oleh keringat dingin.
“Jongkok semua!” teriak Pak Muksin.
Kami beringsut tunduk, kaki-kaki ini tiba-tiba begitu lemah dan gemetaran. Tak sanggup aku membayangkan kejadian itu. Seluruh tulang seperti mencair dan meleleh.
“Pak, catat nama-nama mereka. Lalu giring anak-anak berandal ini ke tengah lapangan sekolah. Biar mereka tahu bagaimana akibat dari perbuatan mempermalukan diri sendiri,” dengan lantang dan tanpa keraguan sedikit pun Pak Muksin menjatuhkan vonis pertama untuk kami.
Kami terdiam dalam kepasrahan sambil terus berdoa semoga hukuman yang akan diterima tidak akan membuat kami kehilangan kesempatan mendapatkan ijasah. Kini hanya tersisa belasan siswa termasuk aku dari sekitar tiga puluhan orang. Betapa beruntung mereka yang sempat menyadari kehadiran Pak Muksin sebelum tertangkap basah. Kami yang tinggal adalah anak-anak naas yang memang tidak punya cukup otak untuk tidak melakukan ritual coret-coretan pasca ujian. Kami begitu tuli, sehingga tetap melakukannya.
Padahal sudah ratusan kali, atau mungkin ribuan sejak dimulainya kegiatan belajar mengajar di catur wulan ketiga. Di kelas saat belajar, di kantor saat terhukum, di saat upacara, dan di muhadoroh mingguan dengan jelas dan pasti larangan itu terucap dari mulut setiap guru. Yang paling sering tentu saja Pak Muksin.
“Kalian ini adalah generasi yang dipersiapkan untuk lulus dengan berbekal ilmu pengetahuan yang mumpuni dan akhlakul karimah. Maka sangat tidak pantas jika nanti kalian merayakan keberhasilan lulus dari sekolah ini dengan mencorat-coret baju yang dibeli oleh orang tua kalian dengan keringat dan pengorbanan siang malam. Kalian telah dididik untuk mengerti perbuatan yang layak dan tidak layak dilakukan orang-orang yang terpelajar. Maka sangat bodoh jika kalian masih tetap bersikeras mengikuti tingkah buruk yang mungkin dilakukan siswa-siswa dari sekolah lain itu setiap tahunnya. Siswa Al-Islamiyah diharamkan melakukan coret-coretan. Kalian dengarkan dan camkan, kecuali jika kalian tidak ingin mendapatkan ijasah. Haram bagi saya memberikan ijasah kepada mereka yang melanggar aturan ini!”
Kalimat-kalimat itu terus mengiang-ngiang di kepalaku dan puluhan siswa yang seangkatan denganku selama perjalanan belajar kami menjelang ujian akhir. Tapi dasar otak-otak berandalan, di detik-detik terakhir setan-setan begitu gencar melakukan rayuan-rayuan. Salah satu setan itu adalah Ahmad Arif Ilham alias Ipang. Ia selalu berada di barisan paling depan dan memimpin pasukan setan-setan Al-Islamiyah yang lain. Hari ini satu, besoknya bertambah menjadi lima, kemudian terus berkembang sampai akhirnya pasukan setan itu berjumlah 34 orang. Aku berada di barisan paling terakhir. Ipang begitu kuat mempengaruhi imanku, aku tak kuasa menolak ajakannya mengumpulkan uang untuk membeli pilok dan spidol.
“Tad, kali ini aja. Nggak bakal ada yang nahan ijasah kita. Itu adalah hak, nggak ada pengecualian kecuali diberikan. Rencana ini gue jamin nggak bakal ketauan. Gue sama teman-teman yang lain tahu tempat paling aman. Pokoknya elu bisa bersorak dan nyemprot siapa aja dengan tenang. Bayangin men, baju-baju kita ini bakal full color. Indah kan? Emangnya elu nggak mau bikin kenang-kenangan. Momen kaya gini nggak terjadi setahun sekali. Ayolah!” begitu provokasinya.
Aku menunduk tak berani menolaknya.
“Aha, kita bakalan bikin kalimat-kalimat jurumiyah. Atau kalau elu mau, khat model naskhi atau diwani juga bisa gue buatin. Kalau soal nulis huruf arab, jangan remehin teman lu ini. Elu bisa lihat itu di nilai rapor gue.”
“Tapi…”
“Emangnya elu nggak mau ngerangkai puisi di baju Shara?”
“Apa?”
Tiba-tiba aku berani menatap wajah setan di sebelahku itu penuh antusias. Darahku berdesir-desir ketika mendengar nama yang disebutkannya. Kesadaranku secara misterius lenyap dan dengan bodohnya tubuhku yang seolah tersihir ini bergerak mendekati umpan yang dilemparnya dihadapanku. Mata Ipang berbinar-binar dengan sigap layaknya seekor cheetah Afrika berpengalaman yang siap menerkam banteng muda yang berada hanya lima meter dari tempatnya mengintai.
“Iya,” suaranya terdengar makin bersemangat, “Shara Hilmah Az-Zahra, si pemilik lesung pipit paling indah di Al-Islamiyah, replikanya Cleopatra. Si pelantun shalawat tersyahdu seumpama Sulisnya Hadad Alwi. Gadis berkerudung rapat yang puisi-puisi buat dia cuma berani elu tulis di bagian belakang buku tulis Fiqh, Matematika, Geografi, Fisika, Aqidah Akhlak sama…, gue lupa di halaman berapa buku paket PPKN.”
Aku menunduk bersembunyi dari rasa malu dan sedikit harapan.
“Ini kesempatan terbaik buat dapetin senyumannya di perpisahan nanti. Apa elu nggak mau itu?”
Ipang terus-menerus membuaiku dengan serendengan harapan yang begitu membuai. Alisnya naik turun melengkapi senyum jeleknya yang mirip Joker musuh Batman. Setan memang tidak pernah putus asa.
Aku mengangguk. Tangan kananku bergerak cepat ke arah saku depan baju seragamku dan kemudian menarik dua dari tiga lembar uang ribuan untuk diberikan pada setan itu. Kalimat-kalimat sakti yang terucap dari bibirnya telah menarik ketidakwarasanku ke tingkat paling tinggi. Mengelabui otakku akan resiko besar yang akan kuhadapi nanti, melalap habis kenyataan bahwa terakhir kali kulihat Shara berhamburan dengan muka keruh begitu dihampiri Ipang ketika makan di kantin belakang, dan menyamarkan kesadaran bahwa uang yang baru saja kuberikan itu adalah jatah makan siangku hari itu. Aku sudah buta, lupa dan tuli. Hanya karena nama itu, nama yang selalu ingin kutulis di samping namaku.
Dan ke-irasional-an itu kini membuatku berada di tengah-tengah kerumunan para pesakitan yang jongkok berdesak-desakan di tengah lapangan sekolah menunggu eksekusi, mirip sekali dengan hewan-hewan ternak yang menunggu dengan dungu pisau-pisau tukang jagal menyayat-nyayat leher mereka di hari-hari tasyrik.
Pak Muksin berdiri sangar di hadapan kami yang hanya berani melihat tanah. Kemudian tiga belas siswa laki-laki dan empat orang siswa perempuan dipisahkan. Aku melirik ke arah kumpulan siswi itu, tidak ada si ‘lesung pipit’. Karena memang dari 34 setan hari itu, tak satu pun bernama belakang Az-Zahra.
Aku baru tahu maksud pembagian kelompok ketika dengan lantang Pak Muksin menyuruh kami para laki-laki untuk melepaskan baju seragam yang sudah lebih mirip baju-baju pantai ala Hawaii. Dengan pengalamannya yang segudang, guru BP yang galak itu tahu persis porsi keadilan dalam memberikan hukuman. Jika sekumpulan perempuan itu juga harus menanggalkan seragamnya, maka ketigabelas setan ini akan makin menjadi setan.
Dan jumlahnya akan bertambah tujuh lagi, yakni Pak Muksin, Pak Satpam, tiga orang guru laki-laki, seorang Tata Usaha, serta seorang laki-laki tua penjaga sekolah yang tidak mau ketinggalan menyaksikan tontonan yang hanya pernah terjadi sekali di pelataran Al-Islamiyah ketika aku masih kelas satu di caturwulan dua. Mereka, siswa-siswa kelas tiga yang memilih pulang lebih cepat dan siswa-siswa kelas satu dan dua yang senang karena tidak masuk sekolah hari itu juga pasti akan menyesal seumur hidup karena telah melewatkan sebuah peristiwa bersejarah di Mts Al-Islamiyah itu.
Aku begitu gemetaran. Untuk pertama kalinya setelah aqil baligh, aku bertelanjang dada di hadapan orang lain. Meskipun di rumah, aku hanya berani membuka baju di dalam kamar. Apalagi ada empat orang siswa perempuan yang mengintip malu-malu dari balik kerudung mereka dan beberapa orang guru wanita yang tak henti-henti menutup mulutnya dengan tangan penuh ketidakpercayaan atas apa yang sedang disaksikannya.
Tujuh belas orang murid mereka, yang selama tiga tahun mereka limpahi begitu banyak ilmu, norma, kebenaran-kebenaran, akhlak, semangat untuk menjadi lebih baik sedang melepaskan satu persatu kancing baju seragamnya dan menanggalkan semua rasa malu sebagai sosok-sosok keji yang tuli akan semua peringatan yang telah mereka sampaikan.
Pak Hatsbi, guru favoritku, menunduk tak kuasa sambil bersandar di daun pintu ruang guru. Sempat kulihat matanya berkaca-kaca, ia begitu kecewa. Selama hampir tiga tahun beliau menyirami kami dengan semangat membara para khalifah Islam berabad-abad silam demi mengusung agama ini ke tempat paling mulia. Tubuhku makin gemetar, rasa malu ini makin berada di puncaknya. Melihat semua orang begitu lirih menatap kami, aku makin tertekan. Tertekan rasa takut dan penyesalan tiada terkira. Teganya aku memberikan kekecewaan pada sosok-sosok yang telah mengajarkanku banyak hal-hal baik dalam hidup. Sia-sia sudah usaha keras wajah-wajah tulus itu mengisi rongga-rongga kosong di relung hati kami yang masih begitu rentan ini dengan jutaan kasih sayang.
Pak Satpam mengumpulkan satu persatu baju seragam para setan yang sudah tidak lagi memiliki harga diri itu, kemudian menumpuknya seperti sampah. Lalu dengan tergopoh-gopoh, lelaki tua si penjaga sekolah menjinjing ember besar berisi air dan sebuah gayung yang terhuyung-huyung mengambang diatasnya.

“Rasakan kebodohan kalian ini!” bentak Pak Muksin sambil mengguyur kami sekaligus tanpa ampun dan tanpa terkecuali.
Para siswi itu pun kini tak luput dari eksekusi. Dan dibawah sengatan terik matahari yang seakan ikut menghukum kami dengan menghujamkan sinar siangnya yang begitu ganas membakar kulit kami yang tak tertutupi sehelai bahan pun, kami kuyup tak berdaya.
Aku terus menyeka air yang mengalir di wajahku, para siswi mulai terisak-isak. Kudengar dengan jelas penyesalan yang begitu dalam di antara isak tangis yang terasa makin pilu. Aku tak berani lagi menatap para guru, apalagi Pak Muksin. Sosok yang selalu membuatku takzim luar biasa ketika mencium punggung tangannya yang kekar setiap kali berpapasan. Senyumnya selalu merekah begitu aku menengadahkan wajah menatap matanya yang setajam matahari di pagi yang cerah. Tak terasa, air mataku ikut meleleh dan jatuh bersama tetesan-tetesan air hukuman itu.
Kesedihan ini makin tak terbantahkan ketika sayup-sayup kudengar Pak Muksin terus-menerus mengucap kalimat istighfar.
“Astagfirullah… astagfirullah…,” ucapnya lirih dan menyayat-nyayat kalbuku yang rapuh ini. Begitu getir dan pahit bagi anak yang baru berusia tiga belas tahun.
Air itu ternyata bukan satu-satunya hukuman bagi para laki-laki, kini giliran gunting kecil di tangan kanan Pak Muksin yang beraksi. Memotong, membabat, menelanjangi kepala-kepala batu kami. Helai demi helai rambut-rambut yang lengket oleh bercak-bercak cat beragam warna itu runtuh melayang-layang menuju tanah. Semua yang tak lagi berwarna hitam harus terlepas dari tempurung kami.
Pak Muksin melakukannya tanpa tehnik, tanpa aturan, tidak seperti tukang-tukang cukur di pangkas rambut. Beliau memang tidak pernah belajar bagaimana cara menggunting rambut yang baik sehingga membiarkan sisa-sisa rambut yang masih berwarna asli tetap berada di tempatnya tumbuh. Tak bisa dibayangkan tampang kami ketika itu.
Aku sudah tidak peduli dengan itu, gema istighfar dari mulut Pak Muksin kian jelas dan nyata. Dadaku bergetar hebat ketika tiba giliranku, kurasakan gerakan gunting itu begitu berat dan suara-suara yang mengiringinya begitu miris. Guru Jurumiyah-ku itu seperti tidak rela dan dengan sangat berat hati melakukan tugasnya. Tapi kutahu, itu sebuah konsekuensi yang harus kuterima dengan ikhlas.
Gerakannya lambat tapi tanpa keraguan sedikit pun, menyiratkan besarnya kasih sayang yang hanya menghadirkan pedih yang mendalam. Melihat kenyataan bahwa murid-muridnya telah melemparkan diri ke lapisan paling rendah dan nista. Bahwa setiap kata, nasihat, dan larangannya dipandang seperti angin di malam-malam musim dingin, basah dan menusuk tulang. Dijauhi dan dilupakan. Tapi beliau masih terus berusaha keras untuk menarik kami kembali, meraih kembali kehormatan kami yang luluh lantah.

“Sekarang lihat, apa lagi yang bisa kalian banggakan ketika baju-baju yang kalian anggap penuh kenangan ini sudah tidak lagi bisa melindungi kulit kalian dari sengatan panasnya matahari dan guyuran air? Nanti, di padang Mahsyar, sungguh tidak sehelai pun, Anakku!” suaranya bergetar mengkombinasikan amarah dan kesedihan.
Pak Muksin berhenti karena tak mampu lagi mengendalikan perasaannya. Sementara tangan kanannya menggenggam kuat-kuat derijen minyak tanah. Urat-urat di punggung tangan yang sering kuciumi itu membesar dan berdesir-desir. Beliau menumpahkan isi dirijen ke tumpukan baju kami seutuh-utuhnya sampai tetesan terakhir. Kemudian secepat anak panah yang menusuk jantung Hamzah di perang Uhud, anak korek berapi itu dilemparnya.
Dap! Hanya sekejap, percik-percik api itu membesar dan berkobar. Melalap setiap inci baju seragam kami. Melumat semua kenangan yang tergores di tiap benangnya, melenyapkan esay Ipang untuk selama-lamanya.
“Lihatlah anak-anakku, betapa sia-sia perbuatan kalian!” Pak Muksin mulai bicara lagi. Lebih lantang dan tegas. Seperti kulihat sosok pemimpin besar umat Islam bernama Thariq bin Ziyad sedang berdiri penuh wibawa ketika sedang berusaha menyulut semangat para pasukan perang Islam dengan membakar perahu-perahu yang membawa mereka menyeberangi selat Gibraltar untuk misi penaklukkan dataran Andalusia.
“Kalian lihat, semua kenangan telah hangus terbakar. Tak ada yang perlu diingat lagi. Karena di depan sana, begitu banyak tantangan yang akan kalian hadapi. Terlalu banyak musuh-musuh nyata yang harus kalian taklukkan. Kalau kalian pikir coretan-coretan itu bisa berbuat sesuatu, kalian salah besar. Satu-satunya kenangan yang harus terus kalian bawa adalah ilmu pengetahuan dan segala hal baik yang telah diajarkan para guru di sekolah ini selama 3 tahun.”
Kobaran api yang membakar baju kami makin membara, menambah hawa panas di pelataran Al-Islamiyah. Begitu juga dengan Pak Maksin, kalimat-kalimat yang dilontarkannya makin berapi-api. Menyulut jiwa-jiwa muda kami yang hangus terbakar hasutan hawa nafsu.
“Saat ini kalian berada di sebuah labirin yang meliuk-liuk dengan dinding-dinding dari tumbuhan hidup yang menjulang begitu tinggi, hingga kalian tak tahu ada apa di balik dinding-dinding yang kokoh itu. Maka berpeganglah pada petunjuk orang-orang yang telah melewatinya. Niscaya kalian akan dapat melintasi tiap lorong dengan aman dan leluasa.” Desah nafas Pak Muksin memburu, beliau seperti sedang menatap wajah-wajah kami yang terus menuduk satu persatu.
“Dan kalian hampir saja keluar dari labirin kecil bernama Al-Islamiyah ini. Tapi lihat, apa yang kalian lakukan? Tepat di depan pintu gerbang keluar, kalian malah memutar arah dan mengabaikan petunjuk-petunjuk. Sekarang rasakan akibatnya, karena tidak ada yang tahu kapan kalian bisa sampai di gerbang itu lagi.”

Pak Muksin menutup pembacaan vonis hukuman untuk kami dengan kalimat yang begitu menggetarkan. Kalimat yang terus terngiang-ngiang dan mendengung di otakku sepanjang waktu setelah hari itu. Aku dan keenambelas setan yang tertangkap hari itu dipenuhi penyesalan yang tak mampu lagi dielakkan. Bahwa betapa ketololan kami mengabaikan seruan-seruan dari mereka yang lebih dulu hidup adalah sebuah kesalahan yang terbesar yang seharusnya tak akan pernah kami ulangi lagi. Bahwa setelah lulus dari sekolah ini, sudah menunggu taman labirin yang jauh lebih besar, lebih tinggi, dan lebih penuh misteri. Setelah itu, taman labirin yang jauh lebih besar bersiap-siap menampung kami. Begitu seterusnya sampai kaki-kaki kami tidak mampu lagi melangkah di antara dinding-dinding labirin yang angkuh dan tak mengenal belas kasihan itu.
Hanya rasa cinta, keyakinan dan takzim terhadap seruan-seruan kebenaranlah yang mampu menghantarkan kami sebagai manusia menuju titik akhir dari perjalanan hidup, yakni keridhaan Allah SWT yang berwujud Surga Firdaus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar