Senin, 12 Maret 2012

Perjuangan Sang Kakak

Noviana Sari
Hari panas terik. Sang Surya bersinar dengan ganasnya. Membuat ubun-ubun terasa mendidih. Akhirnya sampai juga. Dia duduk melepas lelah sambil membuka sepatunya.
“Huh, capek sekali rasanya,” kata Mira sambil bergegas masuk ke dalam rumah dan bergegas berganti pakaian.
Rasanya Mira sangat lelah sekali. Wajahnya sangat lesuh dan kusut seperti matahari ketika beranjak senja. Tiba-tiba terdengar suara dari luar kamar Mira.
“Kak...Kak... buka pintunya,” panggil Ira sambil mengetuk pintu kamar Kakanya.
Ira adalah Adik Mira satu-satunya, yang sekarang duduk di bangku SMP. Dia sangat mandiri. Dia tidak pernah merepotkan kedua orang tuanya. Begitupun Kakaknya yang selalu sayang dengan Adiknya.
“Iya de, bentar,” sahut Mira sambil beranjak jalan dan membuka pintu kamarnya.
“Kenapa de? sini masuk,” kata Mira
Ira langsung masuk ke kamar Kakanya.
“Kak, boleh tidak aku minjam tas Kak Mira?” tanya Ira.
“Tentu boleh, memang kenapa dengan tas kamu de?” tanya Mira.
“Tas aku robek tadi di sekolah,” jawab Ira.
“Memang kenapa sampai robek seperti itu?” tanya Mira.
“Tadi pas aku mau pulang sekolah, tas aku tersangkut dipaku. Jadi robek deh. Aku tidak sempet untuk menjahitnya, dan aku hanya minjem untuk besok saja Kak,” kata Ira dengan mimik muka sedih.
“Iya boleh kok de,” ucap Mira.
“Terimakasih Kak. Ada satu lagi Kak, tolong jangan bilang Ibu dan Bapak kalau tas aku robek. Aku tidak mau membebani Ibu dan Bapak, aku kasihan Kak kepada mereka,” jawab Ira dengan nada rendah.
“Kamu memang anak yang baik ra, Kakak senang sekali punya Adik seperti kamu. Meskipun kamu masih SMP, tapi kamu tidak pernah merepotkan orang tua. Kakak bangga dengan kamu,” ucap Mira sambil mengelus kepala Ira.
“Iya Kak, aku juga senang punya Kakak seperti Kak Mira yang selalu mengerti Adiknya dan orang tua seperti Ibu dan Bapak,” kata Ira.
Mita dan Ira adalah anak yang selalu mengerti dengan keadaan ekonomi orang tuanya. Mereka tidak pernah mengeluh dengan keadaannya yang sudah lama hidup serba kekurangan. Meraka juga tergolong anak yang pintar di sekolahnya. Orang tua mereka pun sangat bangga dengan mereka. Mereka tidak pernah merepotkan orang tuanya, tetapi nasib mereka tidak beruntung seperti teman-temannya yang selalu hidup mewah.
Ibu Ani dan Pak Tono adalah orang tua dari Mira dan Ira. Mereka termasuk dalam keluarga yang ekonominya kurang mampu. Ibu Ani dan Pak Tono adalah seseorang yang pekerja keras dan tidak pernah mengeluh dengan kerjanya yang sekarang. Ibu Ani hanyalah seorang pembantu yang biasanya mencucikan pakaian tetangganya yang membutuhkan tenaga dia. Dan Pak Tono bekerja sebagai buruh tani. Penghasilan mereka kadang tidak cukup untuk biaya hidup mereka dan anak-anaknya. Tetapi mereka sangat bersyukur atas Allah SWT yang sudah memberikan rezeky kepada mereka. Malam itu orang tua mereka sedang duduk di teras depan rumah. Mereka sedang membicarakan sesuatu.
“Pak, bagaimana dengan anak kita?” tanya Bu Ani.
“Bagaimana apanya Bu?” tanya Pak Tono.
“Anak kita sekarang sudah besar. Ira sekarang sudah SMP dan Mira sekarang sudah SMA. Ibu takut Pak, suatu saat Mira dan Ira tidak dapat melanjutkan sekolahnya dan pastinya akan berhenti di tengah jalan,” ucap Bu Ani.
“Ibu tidak boleh bicara begitu. Bapak yakin, insyallah kita sebagai orang tua pasti dapat menyekolahkan mereka sampai selesai, meskipun Bapak tidak yakin untuk menyekolahkan mereka sampai sarjana,” kata Pak Tono.
“Tapi Pak, kita hanya pekerja yang tidak tetap. Bagaimana mungkin kita dapat menyekolahkan mereka sampai selesai?” tanya Bu Ani.
“Semuanya kita serahkan saja kepada Allah SWT. Yang penting kita jangan lupa untuk berusaha dan berdoa Bu,” ucap Pak Tono.
“Baiklah Pak, Ibu juga yakin insyallah kita dapat menyekolahkannya sampai selesai,” ucap Bu Ani.
Ibu Ani hampir saja putus asa. Tetapi, Pak Tono mencoba meyakinkan bahwa mereka pasti dapat menyekolahkannya dan tidak akan ada kata berhenti di jalan.
Pagi pun tiba, Mira dan Ira bergegas untuk berangkat ke sekolah. Mereka berpamitan kepada orang tuanya. Hari demi hari Mira dan Ira menjalani aktivitas sehari-harinya terutama sekolahnya. Orang tuanya pun melakukan aktivitas sehari-harinya. Suatu hari saat Mira beranjak jalan menuju kamar mandi, tiba-tiba tidak sengaja mendengar pembicaraan orang tuanya di ruang tengah. Mira kaget bukan main, Bapaknya sekarang sudah tidak bekerja sebagai buruh tani lagi, karena sawah milik Pak Kades akan digusur oleh Pemerintah. Dan sekarang Pak Tono menjadi pengangguran. Mira langsung berlari masuk kamar. Dia menangis, sedih sekali mendengar pembicaraan orang tuanya, seakan-akan Mira seperti orang yang tidak punya harapan serta impian untuk menjadi pengusaha sukses. Itulah cita-cita Mira sejak kecil. Dia menangis, meneteskan air mata dan terpuruk tidak bisa apa-apa. Dia lemas sekali, dia bingung harus bagaimana. Yang ada dipikirannya hanya bagaimana caranya agar orang tuanya tidak hidup lebih terpuruk lagi dan Adik kesayangannya tidak putus sekolah. Biarpun Ira mendapatkan beasiswa dari sekolahnya, tetapi beasiswa tersebut tidak menjamin untuk Ira sampai tamat sekolah. Dia tidak pernah memikirkan dirinya, yang dia pikirkan hanya orang tuanya dan Adik semata wayangnya.
“Ya Allah aku harus bagaimana? Aku tidak mungkin diam saja, tidak mungkin aku membiarkan orang tuaku menderita dan membiarkan Adikku putus sekolah begitu saja. Aku kasihan kepada mereka. Pokoknya aku harus berusaha sekuat tenaga untuk membuat keluargaku bahagia. Allah SWT pasti memberikan jalan yang terbaik untuk umatnya yang ingin berusaha keras dalam kebaikan,” seru Mira sambil menangis di kamarnya.
Tiba-tiba kemudian terdengar ketukan pintu dari luar kamar Mira.
“Kak... Kak Mira buka pintunya,” panggil Ira dibalik pintu.
“Iya ra, masuk saja,” ucap Mira sambil mengusap air matanya.
Ira langsung masuk kamar Kakaknya.
“Kak, Kak Mira kenapa? Kok matanya kaya habis orang nangis sih?” tanya Ira cemas.
“Kakak tidak kenapa-kenapa kok. Kakak baik-baik saja dan tidak habis menangis ra,” jawab Mira.
“Kakak bohong ya?” tanya Ira.
“Bener Ira cantik,” ucap Mira tersenyum manis.
“Kakak pasti sedang ada masalah, tidak biasanya Kak Mira seperti ini,” ucap Ira dalam hati.
“hehe... iya percaya kok Kak,” seru Ira ketawa.
“Nah begitu dong. Ini baru Adik Kak Mira,” jawab Mira tersenyum.
“Oh iya, ada apa ra kamu kesini?” tanya Mira.
“Oh iya lupa. Ini loh Kak, aku mau minta pendapat Kakak. Kan tadi di sekolah diberi tugas untuk membuat cerpen. Kata Kakak tema yang menarik untuk membuat suatu wacana cerpen apa ya Kak?” tanya Ira.
“Oh begitu. Em... menurut Kakak temanya tentang budaya saja de, kan sekarang budaya kita sudah mulai rapuh. Nah kamu bisa tuh di buat cerpen untuk tema kamu. Bagaimana?” ucap Mira dan menanyakan pendapatnya.
“Boleh juga tuh Kak. Akan aku coba sekarag. Terimakasih ya Kak,” kata Ira tersenyum manis.
“Oke sama-sama de,” seru Mira tersenyum.
Ira langsung keluar dari kamar Kakaknya. Dia langsung mengerjakan tugas cerpennya. Setelah Adiknya keluar dari kamarnya, Mira tetap saja masih memikirkan orang tuanya yang sudah tidak bekerja lagi sebagai buruh tani. Orang tuanya pun bingung. Mereka tidak mungkin diam saja, mereka juga ingin yang terbaik untuk keluarganya. Pak Tono terus berusaha mencari pekerjaan. Kalau hanya mengandalkan istrinya itu tidak mungkin, karena istrinya hanya bekerja sebagai pembantu di rumah tetangganya. Tetapi, istrinya begitu yakin bahwa dia pasti bisa membahagiakan keluarganya.
Keesokan harinya, setelah Mira pulang sekolah, dia mencoba mencari pekerjaan. Dia terus berusaha mencarinya. Namun, tidak ada satu orang pun yang mau menerima dia untuk bekeja. Dia hampir saja sempat putus asa. Beberapa menit kemudian, ketika Mira sedang berdiri di tengah jalan, tiba-tiba ada Pak Tua dari kejauhan menunjuk Mira.
“Hey! sedang apa kamu di situ!” sahut Pak Tua
Mira tampaknya tidak sadar, dia tidak menyahut sama sekali.
“Hey kamu sana pergi! Jangan halangin jalan!” sahut Pak Tua itu dengan marah.
Mira tidak menghiraukannya, tiba-tiba Pak Tua itu mendekati Mira.
“Kamu ini punya otak tidak? Kamu mau bunuh diri!” gentak Pak Tua.
“Oh maaf Pak, aku tidak tahu,” jawab Mira.
“Sedang apa sebenarnya kamu disini?” tanya Pak Tua.
“Aku hanya sedang mencari pekerjaan,” ucap Mira.
“Kamu masih sekolah, untuk apa kamu mencari pekerjaan?” tanya Pak Tua.
Mira menceritakan semuanya, dia menceritakan kenapa dia mencari pekerjaan kepada Pak Tua itu. Dia menceritakan semua tentang keluarganya, agar Pak Tua itu dapat membantu dirinya. Beberapa lama kemudian, Pak Tua itu memberi pekerjaan kepada Mira sebagai tukang parkir yang sama dengan profesi dirinya. Setiap pulang sekolah, dia bekerja sebagai tukang parkir demi untuk membantu keluarganya.
Dua Minggu kemudian. Suasana sekolah terasa seperti biasanya. Tiba-tiba Mira dipanggil untuk menemui Kepala Sekolah.
“Assalammu’alaikum,” seru Mira dari balik pintu.
“Wa’alaikumussalam. Sini silakan masuk. Ayo duduk Mir,” ujar Kepala Sekolah.
“Ada apa Bapak memanggilku?” tanya Mira penasaran.
“Sebelumnya Bapak minta maaf sekali. Tetapi, Bapak harus mengatakannya kepadamu nak,” ucap Kepala Sekolah.
Mira begitu cemas, sebenarnya ada kabar apa yang telah menimpa dirinya. Muka dia langsung terpuruk lesuh.
“Sebenarnya ada apa Pak? katakan saja apa yang sebenarnya terjadi,” ujar Mira cemas.
“Beasiswa kamu akan Bapak cabut sekarang juga,” jawab Kepala Sekolah dengan perasaan yang tidak tega untuk mengatakannya.
“Tapi Pak, kenapa beasiswa aku dicabut?” tanya Mira seperti orang kebingungan.
“Akhir-akhir ini Bapak dapat laporan dari wali kelasmu bahwa nilai-nilai kamu sangat derastis menurun. Kamu sudah tidak ada lagi keseriusan untuk belajar sungguh-sungguh. Bapak terpaksa mencabut beasiswa tersebut, karena ini sudah keputusan dari pihak sekolah,” ucap Kepala Sekolah.
“Tapi Pak, aku janji akan memperbaiki prestasi aku kembali. Aku yakin itu Pak,” ujar Mira sedih.
“Tapi maaf, Bapak sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ini adalah keputusan dari pihak sekolah. Dan beasiswamu juga akan dikasihkan kepada anak yang berprestasi,” ujar Kepala Sekolah.
“Iya sudah Pak, kalau ini memang keputusannya. Aku terima Pak. Maafkan aku yang tidak bisa mempertahankan prestasinya dengan baik. Ini semua keteledoran aku,” ucap Mira dengan sangat berat menerima kabar ini.
“Maafkan Bapak juga Mir. Belajarlah lebih giat lagi. Agar semua orang bangga kepada kamu, terutama orang tuamu,” ujar Kepala Sekolah dengan memberikan semangat kepada Mira.
“Baik Pak. Terimakasih,” jawab Mira lemas.
Beasiswa Mira sekarang dicabut, karena Mira tidak dapat membagi waktu belajar dan pekerjaannya sekarang. Mira begitu sedih mendengar kabar tersebut. Dia menangis di dalam kelasnya. Teman-temanya mencoba menghiburnya, tetapi Mira tidak bisa sedikit pun tersenyum. Begitu banyak cobaan yang menimpa hidupnya. Sekarang, Bapaknya pun sedang sakit. Betapa sedihnya perasaan dia, setelah tahu Bapaknya sakit. Tetapi, Mira tetap tidak meninggalkan pekerjaan sebagai tukang parkir, dia juga tidak meninggalkan sekolahnya. Meskipun tiap hari penghasilannya tidak seberapa, tetapi dia senang sudah bisa membantu orang tuanya untuk makan sehari-hari dan biaya sekolah Adiknya dan dirinya. Mira termasuk anak yang baik dan pintar, sudah banyak prestasi yang dia capai untuk mengangkat nama baik sekolah dan membanggakan orang tuanya serta beasiswa yang dia dapat. Tetapi, karena dia tidak dapat mempertahankan prestasinya terpaksa beasiswa itu dicabut kembali. Dia tidak pernah mengeluh akan hidupnya, dia tetap bersabar, karena dia yakin dibalik ini semua, Allah SWT akan memberikan jalan keluar yang terbaik untuk dia dan keluarganya.
Hari demi hari, detik demi detik dia lalui. Dia terus penuh semangat untuk menjalani hidupnya. Begitu semangatnya Mira untuk sekolah dan bekerja. Sampai-sampai pada saat itu juga orang tua Mira menanyakan kepada Mira yang selalu pulang sore dan tidak biasanya Mira lakukan. Pada saat itu juga Mira terpaksa berbohong kepada orang tuanya bahwa dia sertiap hari ada pelajaran tambahan di sekolahnya. Padahal pelajaran tambahan di sekolahnya sama sekali tidak ada. Untung saja orang tuanya percaya, karena setahu orang tuanya Mira tidak pernah berbohong.
Tiga bulan kemudian. Ternyata Mira sudah lama mengida penyakit kanker paru-paru sejak dia SMP. Tetapi, keluarganya tidak pernah tahu bahwa anaknya mengida penyakit tersebut. Dia tidak mau merepotkan siapa pun, seakan-akan dia menjalani hidup pun sendiri. Hebatnya, dia tidak pernah patah semangat, meskipun dalam keadaan sakit. Dan bisa dibilang penyakit yang diderita dia bukan penyakit sembarangan. Sering sekali dia pingsan saat di sekolah dan di tempat kerjanya. Dia terus berjuang melawan penyakitnya. Selama dia SMA, dia tidak pernah lagi menebus obat untuk sakitnya itu.
Siang berganti malam. Pak Tono, Ibu Ani, Mira, dan Ira sedang duduk di ruang tengah. Kini Pak Tono sudah lumayan pulih kembali. Dia pun sudah bisa ikut kumpul dengan keluarganya. Ketika sedang asyik ketawa bersama, tiba-tiba terdengar suara batuk. Ternyata itu suara batuk Mira.
“Minumlah air putih yang banyak Mir,” ucap Pak Tono.
“Iya Pak,” ucap Mira.
Mira langsung menuju ke arah dapur mengambil air minum dan meminumnya. Tetapi tetap saja dia batuk-batuk hingga keluar darah dari mulutnya. Dia langsung saja menangis, dia sedih, penyakitnya sudah parah. Dia sudah pasrah dengan penyakitnya, pikir dia sudah tidak lama lagi untuk bertahan hidup. Air matanya terus keluar, tidak bisa untuk menghentikan tangisya. Dia sangat berat untuk meninggalkan orang-orang yang dia sayang terutama keluarganya. Banyak sekali kenangan bersama keluarganya apalagi dengan Adiknya. Tiba-tiba terdengar suara dari kejauhan.
“Mir... Mir... lama sekali kamu minum?” seru Pak Tono.
“Iya Pak, bentar. Ini sudah selesai kok,” jawab Mira dari dapur.
“Kamu sedang apa saja di dapur?” tanya Pak Tono.
“Maaf Pak, tadi habis dari kamar mandi dulu,” ujar Mira terpaksa berbohong.
“Oh iya sudah kalau begitu. Tapi, kenapa mukamu pucat?” kata Pak Tono cemas.
“Aku tidak apa-apa Pak, mungkin aku kurang istirahat saja,” ucap Mira terpaksa berbohong.
“Benar kamu tidak apa-apa? tidak bohongin kita kan?” tanya Pak Tono tidak percaya.
“Iya benar Pak,” jawab Mira.
“Iya sudah kalau begitu kamu istirahat saja di kamar nak,” ucap Bu Ani.
“Kak, boleh tidak aku tidur dengan Kakak?” ujar Ira.
“Boleh kok de,” jawab Mira.
“Iya sudah sana kalian masuk kamar,” ucap Pak Tono.
“Iya sana masuk kamar,” sambung Bu Ani.
“Baik Bu, Pak,” kata Mira dan Ira.
Mira dan Ira langsung menuju kamar Mira.
“De, Kakak mau nitip pesan sama kamu. Jaga Ibu dan Bapak dengan baik ya de?” kata Mira.
“Pasti Kak. Mereka berduakan orang tua Ira juga. Memangnya Kakak mau kemana?” tanya Ira.
“Tidak mau kamana-mana kok de. Iya sudahlah lebih baik kita tidur saja sekarang,” ucap Mira.
Ira bertanya-tanya dalam hati, “Kenapa dengan Kakak ya?”
“Oke Kak! Ira sayang Kakak,” ujar Ira.
“Kakak juga sayang Ira,” jawab Mira dan dalam hati pun dia bersedih.
“Jangan tinggalkan Ira ya Kak,” kata Ira sedih.
“Iya de. Kakak tidak akan meninggalkan orang-orang yang Kakak sayangi. Ayo kita tidur sudah malam,” ucap Mira berusaha tegar.
Mira menutup selimutnya ke adiknya. Dia tidak bisa tidur malam itu juga, dia sedang rasakan betapa sakitnya penyakitnya yang sedang kumat. Tengah malam dia batuk-batuk dan mengeluarkan darah dari mulutnya. Beberapa menit kemudian, dia seperti orang sedang nazah. Ternyata malam itu juga Mira menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Pagi pun tiba, Ira terbangun dari tempat tidur.
“Kak, bangun sudah pagi,” ucap Ira mencoba membangunkannya.
“Kak... Kak... ayo bangun. Ya Allah Kak mira,” ucap Ira kaget melihat Kakanya ada darah di mulut dan tangannya.
“Bu, Pak, Kak Mira... Kak Mira... ada darah di mulut dan tangannya,” panggil Ira dari dalam kamar.
Ira mencoba terus memanggil orang tuanya.
“Brakkk,” pintu kamar Mira terbuka.
“Masyallah Mira Pak, Mira,” ucap Bu Ani dengan tangis dan begitu khawatir.
“Mira sudah tidak ada di dunia lagi Bu,” ujar Pak Tono dengan tangis.
Sekarang Mira sudah tidak ada di dunia ini lagi, dia sudah diambil oleh Yang Maha Kuasa. Begitu malang nasib Mira. Keluarganya terus saja menangis, berat sekali rasanya kehilangan orang yang kita sayang. Ira teringat sekali dengan kata Kakaknya semalam. Mira ternyata sudah mempunyai firasat kalau nyawa dia akan diambil oleh Yang Maha Kuasa. Dan hingga akhir ajal menjemput pun, keluarganya tidak tahu menahu bahwa Mira mengida penyakit kanker paru-paru. Mira merahasiakan penyakitnya itu.
“Kak... jangan tinggalkan Ira. Ayo bangun Kak,” seru Ira menangis dipelukan jenazah Kakaknya.
Tak henti-hentinya Ira menangisi kepergian Kakaknya.
Satu bulan sudah kepergian Mira, tampaknya keluarganya bisa mengikhlaskan kepergian Mira untuk selamanya, meskipun masih ada perasaan sedikit yang mengganjalnya. Kini Orang tuanya sangat terhibur dengan Ira yang sudah dapat mengangkat nama baik sekolahnya dengan prestasi yang dia raih. Kedua Orang tuanya bangga padanya.
“Kak Mira, sekarang aku bisa seperti Kakak. Aku sangat senang bisa mengangkat nama baik sekolahku dengan prestasi yang aku raih. Baik-baiklah Kak Ira di surga,” ujar Ira tersenyum.
Ira akhirnya bisa seperti Kakaknya, dia dapat memperoleh prestasi seperti Kakaknya ketika Kakaknya masih hidup di dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar