Selasa, 13 Maret 2012

Kejujuran Yang Membawa Kebahagiaan

Ririn Nur Indah Sari
Hari minggu merupakan hari yang seharusnya digunakan untuk bersantai dan mengistirahatkan pikiran sejenak. Namun istilah santai itu sepertinya tidak berlaku untuk seorang gadis remaja yang setiap harinya ia gunakan untuk membantu orang tuanya. Setiap sepulang sekolah, waktu luang ia selalu gunakan untuk membantu orang tuanya.
Minggu pagi udara sangat sejuk dan segar. Matahari menampakkan aura hangatnya dipagi itu mengiringi langkah para petani yang hendak beraktivitas.
Di sebuah desa yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani, tinggallah keluarga yang sangat sederhana. Sebut saja bapak Suyitno nama kepala keluarga itu. Istrinya bernama Retno. Ia memiliki 3 orang putri. Yaitu Dewi, Siska dan Riska. Dewii adalah anak Suyitno yang kini duduk di bangku kelas XII SMA. Adiknya bernama Siska yang kini duduk di kelas 3 SMP. Dan Riska adalah anak bungsu Suyitno.
Dewi adalah seorang gadis yang sangat sederhana. Ia sangat pandai dalam hal akademik. Prestasinya di sekolah sangat membanggakan. Seperti banyak menjuarai olimpiade-olimpiade tingkat nasional. Selain itu, ia sangat mudah bergaul, ramah tamah, baik, sabar dan penyayang.
Hari itu adalah hari pertama masuk sekolah di semester 2 setelah libur panjang. Namun, selama liburan kemarin tak ada hal yang spesial baginya. Liburan maupun tidak, hanya ia gunakan untuk sekolah, belajar dan membantu orang tua.
Suasana hari pertama sekolah sangat ramai. Tampak raut wajah setiap siswa yang ceria setelah 2 minggu liburan. Di depan kelas terlihat 2 orang siswi yang sedang berbincang-bincang. Mereka adalah Dewi dan Sri.
“Hai Sri”.
“Hai Dewi. Apa kabar ?”
“Alhamdulillah baik. Bagaimana dengan kamu ?” Ucapnya dengan nada lembut.
“Hhhhmmmmmm. Biasa Sri liburan bantu-bantu ibu di rumah. Bantu ngurusin adik-adik juga. Kalau kamu ?”
“Oh saya ? Saya ngga beda jauh sama kamu wi. Tetap di rumah.”
Beberapa menit kemudian, ketika mereka sedang larut dalam canda tawa, bel tanda jam pertama dimulai. Memecah keakraban mereka saat itu.
Pelajaran pertama dimulai. Semua siswa bersemangat mengikuti pelajaran matematika yang gurunya dikenal lucu dan bersahabat dengan siswa sampai pada akhir jam pelajaran semua siswa masih tetap bersemangat. Di sela sela pelajaran terkhir, darispeker terdengar pengumuman adanya jam belajar tambahan dari hari senin sampai rabu. Namun, Dewi terlihat bingung mendengar pengumuman itu.
“Wi kamu kenapa toh ?” Tanya Sri.
“Bingung Sri”.
“Bingung kenapa ? Cobalah cerita padaku”.
“Sekarang sudah mulai ada jam belajar tambahan”. Iya terus kenapa dengan jam belajar tambahan itu ? Itu untuk kepentingan kita juga”.
“Iya sih, tapi waktu untuk membantu ibu jadi berkurang”. Ujar Dewi.
“Oh...... itu. Tidak ko wi. Kamu bisa bantu ibu kamu di sekolah. Jualan di sekolah. Selain itu, kamu jelasin ke ibu kamu kalau sekarang sudah mulai di sibukkan dengan jam belajar tambahan. Pasti ibu kamu mengerti wi”. Jelas Sri.
“Iya juga Sri. Ya sudah nanti saya bicarakan dengan ibu”.
Bel tanda pulang berbunyi. Matahari pun beranjak keperaduannya. Dewi dan Sri mengakhiri obrolannya dan bergegas untuk pulang.
****
3 bulan berlalu di semester 2. Detik-detik menuju ujian akhirpun tiba. Seperti biasanya dia berangkat sekolah dan menjalankan semua aktivitasnya. Belajar, bermain dan bercanda dengan teman-temannya.
Saat itu bel tanda istirahat berbunyi. Anak-anak berhamburan keluar kelas. Menuju masjid, menuju kantin. Begitupun dengan Dewi dan Sri. Seperti biasa mereka menuju masjid untuk menunaikan shalat duhur bersama-sama dengan siswa lainnya. Dalam perjalanan menuju masjid, dari belkang terdengar sayup-sayup salah seorang teman memanggilnya. John namanya. Yang tidak lain dan tidak bukan adalah teman dekat Dewi dan Sri.
“Dewiiiiiiiii........”.
“Iya....”. Dewi menengok ke arah John yang terlihat cape mengejar Dewi.
“Dipanggil diam saja kau”. Ucap John dengan nada kesal.
“Hehehehe. Sorry jo. Memangnya ada apa ?”
“Tadi saya disuruh ibu Indah manggil kamu”. Jelas John.
Dalam benak Dewi sudah terlintas bayangan akan ditagih uang bayaran. Dewi bertanya-tanya dalam dirinya.
“Ibu Indah ?” Tanya Dewi.
“Iya, ibu Indah”.
“Ada apa yah jo ko ibu indah nyari Dewi?” Sambung Sri.
“Aku tak tau Sri. Coba saja seusai shalat menghadap ibu Indah”.
“Ya sudah nanti selesai shalat saya dan Dewi menghadap ibu Indah”.
“Okelah kalau begitu”.
“Terima kasih yah jo”.
“Siip sama-sama “.
Selesai menunaikan shalat, Dewi bergegas menghadap ibu Indah. Di jalan menuju ruang guru, ia membayangkan dirinya berhadapan dengan ibu Indah yang wajahnya galak sedang menagih uang tunggakan buku padanya. Jika itu terjadi, apa yang harus ia katakan pada orang tuanya. Ada rasa tak sanggup dan tidak tega untuk mengatakannya. Ditambah dengan ayahnya yang sedang sakit keras. Untuk biaya berobat saja belum cukup. Ditambah dengan beban biaya sekolahnya dan biaya sekolah adiknya. Sesampainya di ruang guru, dengan wajah yang takut ia mencari ibu Indah. Membayangkan sesuatu apa yang akan terjadi.
“Assalamu’alaikum”.
“Wa’alaikum salam. Kamu Dewi?” Ibu Indah menjawab dengan nada ketus.
“Iya bu saya Dewi”.
“Sebentar yah ibu cek. Kamu itu belum bayar tunggakan buku ke ibu. Mau kapan bayar ?”
“Tidak tau bu”.
“Eh eh eh ko tidak tau sih. Kamu kan sebentar lagi mau ujian. Kamu mau tidak ikut ujian ?”
“Tidak mau bu”.
“Ya sudah. Kalau begitu kamu harus segera membayar uang tunggakan buku ke ibu”.
“Iya bu. Nanti Dewi akan bicara pada orang tua Dewi”.
“Yasudah sana kembali ke kelas”.
Setelah menghadap ibu Indah ia menuju kelas untuk melanjutkan belajar.Di lorong sekolah ia berjalan lesu teringat perkataan ibu Indah tadi. Kadang ia berpikir tentang ibu Indah. Apakah ia sampai hati tidak mengikut sertakan Dewi ujian?
Kelas tampak sangat ramai dengan para siswa yang sedang beraktivitas. Begitupun dengan Sri dan John. Dewi tampak lesu memasuki kelas.
“Wi tadi inu Indah ada perlu apa mencari kamu ?” Tanya John.
“Uang tunggakan buku jo”.
“Sudah ku duga”. Jawab John.
Guru pelajaran bahasa Indonesia datang. Anak-anak menghentikan semua aktivitasnya dan fokus pada pelajaran sampai akhir jam pulang sekolah.
****
Dewi berjalan dengan wajah yang tak berseri seperti biasanya. Ia masih teringat dengan perkataan ibu Indah di sekolah. Dari raut wajahnya tampak kebingungan yang sedang melanda. Masalah demi masalah harus ia hadapi. Ia tidak tau harus bicara apa pada orang tuanya sesampai di rumah nanti. Ia tidak ingin selalu merepotkan orang tuanya. Apalagi setelah ayahnya mengidap penyakit keras, hanya ibunya saja yang bekerja untuk menghidupi keluarganya. Namun, apabila ia tidak membayar tunggakan itu ia terpaksa tidak bisa mengikuti ujian akhir. Terlintas dalam pikirannya akan nasib adik-adiknya jika ia mendahulukan kepentingannya.
Sesampainya di rumah. Ibu yang sedang duduk di depan rumah tampak bingung melihat wajah anaknya yang murung.
“Assalamu’alaikum bu”.
“Wa’alaikum salam nak”.
Tidak seperti biasanya. Setelah mengucapkan salam ia langsung pergi ke kamar. Tampak Siska menghampiri. Namun ia hanya berlalu meninggalkan Siska dan hanya membalas sapaan Siska dengan senyuman.
Ia menghadap cermin yang tergantung di sudut kamarnya. Melihat dirinya yang tampak lesu. Terlintas kembali dalam benaknya akan nasib adik-adiknya jika ia mengingat kembali peristiwa di sekolah tadi. Tampak penyesalan dalam dirinya karena ia tidak bisa membantu orang tua sepenuhnya. Mungkin nanti bangku sekolah hanya akan menjadi angan-angan baginya. Meskipun keluarganya hidup dalam kesusahan dan kesederhanaan, orang tua dewi ingin anak-anaknya hidup lebih baik dan berkecukupan.
Malam itu, keluarga Suyitno berkumpul di ruang tengah. Tampak kehangatan yang dibalut kesederhanaan dalam keluarga itu. Namun, dalam kehangatan saat itu pak Suyitno harus terbaring lemah tak berdaya di tempat tidur karena penyakit keras yang menyerangnya.
“Andai bapak masih kuat bekerja bu”. Ucap pak Suyitno.
“Sudahlah pak nda apa-apa”.
“Kalau bapak tidak seperti ini, ibu tidak harus bekerja keras kesana sini demi menghidupi kita semua bu”.
Mendengar pembicaraan kedua rang tuanya, Dewi mengurungkan niat untuk menceritakan masalahnya tentang uang tunggakan.
“Ujian akhir segera tiba bu, kira belum membayar uang sekolah anak-anak”. Ucap pak Suyitno.
“Pak, ibu yakin kita bisa. Ingat pak, Allah tidah akan memberi cobaan diluar kemampuan hanmbanya. Allah pasti akan memberikan kita jalan”. Jelas ibu sambil tersenyum melihat anak-anaknya bermain.
Malam semakin larut. Keluarga pak Suyitno menyudahi keakrabannya malam itu.
****
Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk melalui celah dinding yang bolong dan rapuh. Membangunkan Dewi dari tidurnya. Sedikit rasa bosan dan malas dalam hatinya karena setiap hari ia harus bertemu dengan ibu Indah yang selalu menagih uang tunggakan buku. Namun, jika ia teringat akan kerja keras orang tuanya semangat kembali terkumpul. Dengan langkah yang berat ia meninggalkan tempat tidur dan bergegas menuju sumur di belakang rumah. Membersihkan tubuhnya dan kemudian pergi beraktivitas seperti biasa.
Sesampainya di sekolah hatinya terhentah sesaat ketika melihat temantemannya yang bisa tertawa lepas tanpa beban hidup. Saait itu muncul rasa dengki dalam hatinya. Namun seperti inilah hidup. Kadang di atas dan kadamg di bawah. Mau tidak mau Dewi harus berlapang dada menerima kenyataan hidup ini. Bel tanda pelajaran akan dimulai. Hari ini ia harus pulang sore karena ada jam belajar tambahan.
“Hus wi”. Sri mencoba menggoda Dewi.
“Apaan sih kamu ini Sri”.
“yeeeee..... kamu sih pagi-pagi sudah melamun”.
Dewi hanya membalas candaan Sri dengan senyum.
“Kalau ada masalah cerita dong say, jangan di pendam sendiri saja. Kebiasaan kamu mah”.
“Bingung Sri. Sepertinya saya harus berhenti sekolah”.
“Hah maksudnya apa ?” Sri terlihat kaget mendengar pernyataan Dewi.
“Iya Sri. Riska adik saya sudah kelas 3 SMP dan sebentar lagi dia ujian sama seperti saya”. Jelas Dewi.
“Oh..... itu. Jangan bicara seperti itu wi. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya”.
“Tapi kasihan orang tua saya Sri”.
“Jangan sedih sayang. Kami semua teman-teman kamu. Kami semua ada untuk kamu. Kami ada di belakangmu”. Sri mencoba memberi semangat Dewi.
“Terima kasih yah Sri. Beruntungnya saya memiliki sahabat sepertimu”.
Itulah Sri si pemberi semangat Dewi dan teman yang mengerti keadaannya. Sri selalu membangkitkan semangat Dewi ketika ia benar-benar merasa down. Guru pelajaran pertama datang. Semua siswa fokus dan mengikuti pelajaran dengan tenang. Sama halnya dengan Dewi dan Sri. Sejenak Dewi melupakan semua masalahnya.
Jam pelajaran usai. Bel tanda istirahat berbunyi. Seperti biasa ia menuju masjid untuk menunaikan shalat. Meski kini masalah menghadangnya, namun ia selalu bersemangat menjalani hari-harinya. Di sekolah, di rumah dan di lingkungan teman-temannya. Dewi memang anak yang pandai menyembunyikan kesedihannya.
4 jam berlalu. Bel pulang sekolah berbunyi. Ia berlalu meninggalkan kelas. Berjalan menelusuri jalanan yang ramai dengan lalu lalang kendaraan. Lelah terasa dalam dirinya. Setiap pulang dan pergi ke sekolah ia harus berjalan kaki yang jarak dari rumahnya tidak kurang dari 10 km. Namun, ada rasa sungkan baginya jika ia harus pulang dengan kendaraan umum. Dewi berpikir lebih baik uang sisa ia tabung untuk sekedar membantu membeli keperluan sekolah.
Terik matahari terasa begitu menyengat membakar kulinya. Dewi berteduh melepas lelah disebuah halte. Dari kejauhan, ia melihat sebuah benda di depan sebuah toko furniture. Ia menghampiri benda tersebut. Dan ditemukannya sebuah dompet. Dompet itu ia buka dan di dalamnya terdapat sebuah kartu nama. Tertulis nama Bambang yang merupakan pemilik toko furniture tersebut. Ada sejumlah uang dan beberapa kartu kredit. Sempat terlintas dalam batinnya ingin mengambil uang itu untuk membantu biaya sekolahnya. Namun, hati kecilnya meuntut agar is mengembalikan dompet itu kepada pemiliknya.
****
Disepanjang jalan ia berpikir dan terus berpikir. Apakah ia harus menuruti nalurinya atau tidak. Namun kegundahan akan menyelimuti hatinya jika ia menggunakan uang itu mungkin bukan berkah yang ia terima. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk mengembalikan dompet itu. Dewi mencari alamat pemilik dompet tersebut. Tak perduli dengan teriknya matahari. Tampak wajah lelah terpancar dari wajahnya. Ia berjalan disebuah komplek perumahan mewah. Ia berhenti di depan sebuah ruah mewah dan ditekannya bel rumah itu. Kemudian keluarlah seorang penjaga rumah.
“Maaf, ade mencari siapa ?” Tanya penjaga rumah.
“Apa benar ini rumahnya pak Bambang ?”
“Iya benar”.
“Permisi pak, saya mencari pak Bambang”.
“Sebelumnya sudah ada janji dengan pak Bambang ?”
“Belum pak”. Jawab Dewi dengan nada polos.
“Maaf de, kalau begitu ade tidak bisa bertemu dengan pak Bambang”. Penjaga rumah menutup gerbang.
“Tapi pak”. Dewi berusaha menahan penjaga rumah itu.
“Tapi apa ?”
“Saya hanya ingin mengembalikan dompet ini”. Ujar Dewi sembari memperlihatkan dompet yang ia temukan.
“Ya sudah kalau begitu ade boleh masuk. Sebentar saya panggilkan pak Bambang”.
“Terima kasih pak”. Tukas Dewi.
Dewi duduk di sebuah taman rumah yang sangat luas. Ia takjub akan kemewahan rumah itu. Saat menunggu, sempat terlintas rasa takut jika pemilik dompet itu justru akan menuduhnya mencuri dompet. Tak selang beberapa lama, datanglah seorang bapak tua menghapirinya.
“Selamat siang nak”. Sapa bapak tua itu dengan nada ramah.
“Selamat siang pak”. Dewi membalas salam bapak itu.
“Nama kamu siapa ?”
“Nama saya Dewi pak”.
“Salam kenal nak. Nama saya Bambang. Ada perlu apa datang kesini ?”
“Ternyata ini pak Bambang. Sepertinya ia baik”. Dewi bergumam dalam hati. Sejenak ia terdiam. “Maaf pak, saya kesini hanya ingin mengembalikan dompet ini”. Ujarnya dengan takut sembari menunjukkan dompet yang ia temukan.
“Kamu menemukan dompet bapak dimana ?” tanya pak Bambang.
“Saya tidak sengaja menemukannya di depan sebuah toko furniture ketika pulang sekolah. Dan saya mendapatkan kartu nama bapak di dalam dompet itu. Kemudian saya mencari alamat bapak”.
“Oh...... begitu ceritanya”.
Merekapun berbincang-bincang dan saling bertukar cerita tentang kehidupan masing-masing. Sehingga tercipta keakraban diantara keduanya. Selang beberapa saat, Dewi ingin segera pulang ke rumah. Perasaannya tidak enak dan terus memikirkan ayahnya. Dewi bergegas meminta izin pulang kepada pak Bambang.
“Pak saya izin pulang dulu”.
“Loh ko buru buru nak”. Pak Bambang menjawab dengan heran.
“Entah kenapa tiba-tiba say terus kepikiran ayah saya yang sedang sakit. Saya takut terjadi sesuatu pada ayah saya pak”.
“Ya sudah kalau begitu bapak antar kamu pulang”. Pinta pak Bambang.
“Tidak usah pak. Merepotkan”.
“Bapak sama sekali tidak merasa direpotkan. Ini sbagai tanda terima kasih bapak karena kamu telah mengembalikan dompet bapak. Bapak harap kamu tidak menolaknya”.
“Ya sudah kalau begitu pak”.
Merekapun bergegas menuju rumah Dewi. Disepanjang perjalanan, Dewi terus memikirkan kondisi ayahnya. Sesampainya di rumah, ia melihat bendera kuning yang berkibar di depan rumahnya. Pikirannya semakin tak menentu. Ia menuju rumah dengan langkah kaki yang berat. Terlihat kerumunan orang di rumahnya dan ia mendapati ibu dan adik-adiknya sedang menangis di depan jenazah yang terbujur kaku. Dengan langkah tertatih ia menghampiri jenazah itu. Perlahan ia membuka kain penutupjenazah itu. Dilihatnya ayah yang sangat ia sayangi terbujur kaku di hadapannya. Dewi menangis histeris melihat kenyataan itu. Seakan ia tak percaya ayahnya akan pergi secepat itu. Pak Bambang yang sedari tadi berdiri di belakangnya berusaha menenangkan Dewi yang terlihat sangat terpukul.
****
Beberapa hari setelah kematian ayah Dewi, pak Bambang datang ke rumah Dewi. Ia berniat untuk membantu meringankan biaya sekolah Dewi. Ibu Retno menyambut baik niat baik pak Bambang tersebut. Akhinya Dewi dapat melunasi tunggakan biaya sekolah. Dewi diperbolehkan untuk mengikuti ujian akhir. Selang beberapa bulan, pengumuman keulusan tiba. Ia lulus dengan nilai yang sangat baik. Selain itu, Dewi mendapat beasiswa untuk melanjutkan studinya ke Perguruan Tinggi Negeri. Sedangkan ibu dan adik-adiknya tinggal bersama pak Bambang.

~SEKIAN~

1 komentar: