Jumat, 02 Desember 2011

Perbedaan Asuransi Islami dengan Konvensional

Bahaya, kerusakan dan kerugian adalah kenyataan yang harus dihadapi manusia di dunia ini. Sehingga kemungkinan terjadi resiko dalam kehidupan, khususnya kehidupan ekonomi sangat besar. Tentu saja ini membutuhkan persiapan sejumlah dana tertentu sejak dini.Oleh karena itu banyak orang mengambil cara dan sistem untuk dapat menghindari resiko kerugian dan bahaya tersebut. Diantaranya dengan asuransi yang merupakan sebuah sistem untuk merendahkan kehilangan finansial dengan menyalurkan resiko kehilangan dari seseorang atau badan ke lainnya.Sisem ini sudah berkembang luas dinegara Indonesia secara khusus dan dunia secara umumnya. Sehingga memerlukan penjelasan permasalahan ini dalam tinjauan syari’at islam.
Asuransi secara umum.
Kata asuransi ini dalam bahasa inggris disebut Insurance dan dalam bahasa prancis disebut Assurance. Sedangkan dalam bahasa arabnya disebut at-Ta’mien. Asuransi ini didefinisikan dalam kamus umum bahasa Indonesia sebagai perjanjian antara dua pihak, pihak yang satu akan membayar uang kepada pihak yang lain, bila terjadi kecelakaan dan sebagainya, sedang pihak yang lain itu akan membayar iuran. Demikian juga telah didefinisikan dalam perundang-undangan negara Indonesia sebagai perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pihak ke tiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Sedangkan sebagian ulama syari’at dan ahli fikih memberikan definisi yang beragam, diantaranya:
1. Pendapat pertama, asuransi adalah perjanjian jaminan dari fihak pemberi jaminan (yaitu perusahaan asuransi) untuk memberi sejumlah harta atau upah secara rutin atau ganti barang yang lain, kepada fihak yang diberi jaminan (yaitu nasabah asuransi), pada waktu terjadi musibah atau kepastian bahaya, yang dijelaskan dengan perjanjian, hal itu sebagai ganti angsuran atau pembayaran yang diberikan oleh nasabah kepada perusahaan.
2. Pendapat kedua, asuransi adalah Perjanjian yang mengikat diri penanggung sesuai tuntutan perjanjian untuk membayar kepada pihak tertanggung atau nasabah yang memberikan syarat tanggungan untuk kemaslahatannya sejumlah uang atau upah rutin atau ganti harta lainnya pada waktu terjadinya musibah atau terwujudnya resiko yang telah dijelaskan dalam perjanjian. Hal tersebut diberikan sebagai ganti angsuran atau pembayaran yang diberikan tertanggung kepada penanggung (pihak asuransi). 3. Pendapat ketiga, asuransi adalah pengikatan diri pihak pertama kepada pihak kedua dengan memberikan ganti berupa uang yang diserahkan kepada pihak kedua atau orang yang ditunjuknya ketika terjadi resiko kerugian yang telah dijelaskan dalam akad. Itu sebagai imbalan
dari yang diserahkan pihak kedua berupa sejumlah uang tertentu dalam bentuk angsuran atau yang lainnya. Dari definisi yang beraneka ragam tersebut terdapat kata sepakat dalam beberapa hal berikut ini:
1. Adanya ijab dan qabul dari pihak penanggung (al-Mu’ammin)dan tertanggung (al-Mu’ammin lahu).
2. Adanya obyek yang menjadi arahan asuransi.
3. Tertanggung menyerahkan kepada penanggung (pengelola asuransi) sejumlah uang baik dengan tunai atau angsuran sesuai kesepakatan kedua belah pihak, yang dinamakan premi.
4. Penanggung memberikan ganti kerugian kepada tertanggung apabila terjadi kerusakan seluruhnya atau sebagiannya.
Inilah asuransi yang umumnya berlaku dan ini dinamakan asuransi konvensional (al-Ta’mien al-Tijaari) yang dilarang mayoritas ulama dan peneliti masalah kontemporer dewasa ini. Juga menjadi ketetapan majlis Hai’ah kibar Ulama (majlis ulama besar Saudi Arabia) no. 55 tanggal 4/4/1397 H dan ketetapan no 9 dari Majlis Majma’ al-Fiqh dibawah Munazhomah al-Mu’tamar al-Islami (OKI). Demikian juga diharamkan dalam keputusan al-Mu’tamar al-’Alami al-Awal Lil Iqtishad al-Islami di Makkah tahun 1396H.
Kemudian para ulama memberikan solusi dalam masalah ini dengan merumuskan satu jenis asuransi syari’at yang didasarkan kepada akad tabarru’at yang dinamakan at-Ta’mien at-Ta’awuni (asuransi ta’awun) atau at-Ta’mien at-Tabaaduli.
Pengertian Asuransi Ta’awun (at-Ta’mien at-Ta’awuni).
Para ulama kontemporer mendefinisikan at-Ta’mien at-Ta’awuni dengan beberapa definisi, diantaranya:
1. Pendapat pertama, asuransi ta’awun adalah berkumpulnya sejumlah orang yang memiliki resiko bahaya tertentu. Hal itu dengan cara mereka mengumpulkan sejumlah uang secara berserikat. Sejumlah uang ini dikhususkan untuk mengganti kerugian yang sepantasnya kepada orang yang tertimpa kerugian diantara mereka. Apabila premi yang terkumpulkan tidak cukup untuk itu, maka anggota diminta mengumpulkan tambahan untuk menutupi kekurangan tersebut. Apabila lebih dari yang dikeluarkan dari ganti rugi tersebut maka setiap anggota berhak meminta kembali kelebihan tersebut. Setiap anggota dari asuransi ini adalah penanggung dan tertanggung sekaligus. Asuransi ini dikelola oleh sebagian anggotanya. Akan jelas gambaran jenis asuransi ini adalah seperti bentuk usaha kerjasama dan solidaritas yang tidak bertujuan mencari keuntungan (bisnis) dan tujuannya hanyalah mengganti kerugian yang menimpa sebagian anggotanya dengan kesepakatan mereka membaginya diantara mereka sesuai dengan tata cara yang dijelaskan. 2. Pendapat kedua, asuransi ta’awun adalah kerjasama sejumlah orang yang memiliki kesamaan resiko bahaya tertentu untuk mengganti kerugian yang menimpa salah seorang dari mereka dengan cara mengumpulkan sejumlah uang untuk kemudian menunaikan ganti rugi ketika terjadi resiko bahaya yang sudah ditetapkan. 3. Pendapat ketiga, asuransi ta’awun adalah berkumpulnya sejumlah orang membuat shunduq (tempat mengumpulkan dana) yang mereka danai dengan angsuran tertentu yang dibayar setiap dari mereka. Setiap mereka mengambil dari shunduq tersebut bagian tertentu apabila tertimpa kerugian (bahaya) tertentu.
4. Pendapat keempat, asuransi ta’awun adalah berkumpulnya sejumlah orang yang menanggung resiko bahaya serupa dan setiap mereka memiliki bagian tertentu yang dikhususkan untuk menunaikan ganti rugi yang pantas bagi yang terkena bahaya. Apabila bagian yang terkumpul (secara syarikat) tersebut melebihi yang harus dikeluarkan sebagai ganti rugi maka anggota memiliki hak untuk meminta kembali. Apabila kurang maka para anggota diminta untuk membayar iuran tambahan untuk menutupi kekurangannya atau dikurangi ganti rugi yang seharusnya sesuai ketidak mampuan tersebut. Anggota asuransi ta’awun ini tidak berusaha merealisasikan keuntungan namun hanya berusaha mengurangi kerugian yang dihadapi sebagian anggotanya, sehingga mereka melakukan akad transaksi untuk saling membantu menanggung musibah yang menimpa sebagian mereka. Sehingga dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa asuransi ta’awun adalah bergeraknya sejumlah orang yang masing-masing sepakat untuk mengganti kerugian yang menimpa salah seorang dari mereka sebagai akibat resiko bahaya tertentu dan itu diambil dari kumpulan iuran yang setiap dari mereka telah bersepakat membayarnya. Ini adalah akad tabarru’ yang bertujuan saling membantu dan tidak bertujuan perniagaan dan cari keuntungan. Sebagaimana juga akad ini tidak terkandung riba, spekulasi terlarang, gharar dan perjudian. (Tentang gharar, baca juga artikel “Mengenal Jual-Beli Gharar“)
Gambaran paling gampangnya adalah misalnya ada satu keluarga atau sejumlah orang membuat shunduq lalu mereka menyerahkan sejumlah uang yang nantinya dari kumpulan uang tersebut digunakan untuk ganti rugi kepada anggotanya yang mendapatkan musibah (bahaya). Apabila uang yang terkumpul tersebut tidak menutupinya, maka mereka menutupi kekurangannya. Apabila berlebih setelah penunaian ganti rugi tersebut maka dikembalikan kepada mereka atau dijadikan modal untuk masa yang akan datang. Hal ini mungkin dapat diperluas menjadi satu lembaga atau yayasan yang memiliki petugas yang khusus mengelolanya untuk mendapatkan dan menyimpan uang-uang tersebut serta mengeluarkannya. Lembaga ini boleh juga memiliki pengelola yang merencanakan rencana kerja dan managementnya. Semua pekerja dan petugas berikut pengelolanya mendapatkan gaji tertentu atau mereka melakukannya dengan sukarela. Namun semua harus dibangun untuk tidak cari keuntungan (bisnis) dan seluruh sisinya bertujuan untuk ta’awun (saling tolong menolong). Dari sini dapat dijelaskan karekteristik asuransi ta’awun sebagai berikut:
1. Tujuan dari asuransi ta’awun adalah murni takaful dan ta’awun (saling tolong menolong) dalam menutup kerugian yang timbul dari bahaya dan musibah.
2. Akad asuransi ta’awun adalah akad tabarru’. Hal ini tampak tergambarkan dalam hubungan antara nasabah (anggotanya), dimana bila kurang mereka menambah dan bila lebih mereka punya hak minta dikembalikan sisanya.
3. Dasar fikroh asuransi ta’awun ditegakkan pada pembagian kerugian bahaya tertentu atas sejumlah orang, dimana setiap orang memberikan saham dalam membantu menutupi kerugian tersebut diantara mereka. Sehingga orang yang ikut serta dalam asuransi ini saling bertukar dalam menanggung resiko bahaya diantara mereka
4. Pada umumnya asuransi ta’awun ini berkembang pada kelompok yang punya ikatan khusus dan telah lama, seperti kekerabatan atau satu pekerjaan (profesi).
5. Penggantian ganti rugi atas resiko bahaya yang ada diambil dari yang ada di shunduq (simpanan) asuransi, apabila tidak mencukupi maka terkadang diminta tambahan dari anggota atau mencukupkan dengan menutupi sebagian kerugian saja.
Perbedaan antara asuransi ta’awun dan konvensional. Dari karekteristik diatas dan definisi yang disampaikan para ulama kontemporer tentang asuransi ta’awun dapat dijelaskan perbedaan antara asuransi ini dengan yang konvensional. Diantaranya:
1. Asuransi ta’awun termasuk akad tabarru yang bermaksud murni takaful dan ta’awun (saling tolong menolong) dalam menutup kerugian yang timbul dari bahaya dan musibah. Sehingga premi dari anggotanya bersifat hibah (tabarru’). Berbeda dengan asuransi konvensional yang bermaksud mencari keuntungan berdasarkan akad al-Mu’awwadhoh al-Ihtimaliyah (bisnis oriented yang berspekulasi yang dalam bahasa Prancis Contrats aleatoirs).
2. Penggantian ganti rugi atas resiko bahaya dalam asuransi ta’awun diambil dari jumlah premi yang ada di shunduq (simpanan) asuransi. Apabila tidak mencukupi maka adakalanya minta tambahan dari anggota atau mencukupkan dengan menutupi sebagian kerugian saja. Sehingga tidak ada keharusan menutupi seluruh kerugian yang ada bila anggota tidak sepakat menutupi seluruhnya. Berbeda dengan asuransi konvensional yang mengikat diri untuk menutupi seluruh kerugian yang ada (sesuai kesepakatan) sebagai ganti premi asuransi yang dibayar tertanggung. Hal ini menyebabkan perusahaan asuransi mengikat diri untuk menanggung semua resiko sendiri tanpa adanya bantuan dari nasabah lainnya. Oleh karena itu tujuan akadnya adalah cari keuntungan, namun keuntungannya tidak bias untuk kedua belah pihak. Bahkan apabila perusahaan asuransi tersebut untung maka nasabah (tertanggung) merugi dan bila nasabah (tertanggung) untung maka perusahaan tersebut merugi. Dan ini merupakan memakan harta dengan batil karena berisi keuntungan satu pihak diatas kerugian pihak yang lainnya.
3. Dalam asuransi konvensional bisa jadi perusahaan asuransi tidak mampu membayar ganti rugi kepada nasabahnya apabila melewati batas ukuran yang telah ditetapkan perusahaan untuk dirinya. Sedangkan dalam asuransi ta’awun, seluruh nasabah tolong menolong dalam menunaikan ganti rugi yang harus dikeluarkan dan pembayaran ganti rugi sesuai dengan yang ada dari peran para anggotanya.
4. Asuransi ta’awun tidak dimaksudkan untuk mencari keuntungan dari selisih premi yang dibayar dari ganti rugi yang dikeluarkan. Bahkan bila ada selisih (sisa) dari pembayaran klaim maka dikembalikan kepada anggota (tertanggung). Sedangkan sisa dalam perusahaan asuransi konvensional dimiliki perusahaan.
5. Penanggung (al-Mu’ammin) dalam asuransi ta’awun adalah tertanggung (al-Mu’ammin lahu) sendiri. Sedangkan dalam asuransi konvensional, penanggung (al-Mu’ammin) adalah pihak luar.
6. Premi yang dibayarkan tertanggung dalam asuransi ta’awun digunakan untuk kebaikan mereka seluruhnya. Karena tujuannya tidak untuk berbisnis dengan usaha tersebut, namun dimaksudkan untuk menutupi ganti kerugian dan biaya operasinal perusahaan saja Sedangkan dalam system konvensional premi tersebut digunakan untuk kemaslahatan perusahaan dan keuntungannya semata Karena tujuannya adalah berbisnis dengan usaha asuransi tersenut untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari pembayaran premi para nasabahnya.
7. Asuransi ta’awun bebas dari riba, spekulasi dan perjudian serta gharar yang terlarang. Sedangkan asuransi konvensional tidak lepas dari hal-hal tersebut.
8. Dalam asuransi ta’awun, hubungan antara nasabah dengan perusahaan asuransi ta’awun ada pada asas berikut ini:
a. Pengelola perusahaan melaksanakan managemen operasional asuransi berupa menyiapkan surat tanda keanggotaan (watsiqah), mengumpulkan premi, mengeluarkan klaim (ganti rugi) dan selainnya dari pengelolaannya dengan mendapatkan gaji tertentu yang jelas. Itu karena mereka menjadi pengelola operasional asuransi dan ditulis secara jelas jumlah fee (gaji) tersebut.
b. Pengelola perusahaan melakukan pengembangan modal yang ada untuk mendapatkan izin membentuk perusahaan dan juga memiliki kebolehan mengembangkan harta asuransi yang diserahkan para nasabahnya. Dengan ketentuan mereka berhak mendapatkan bagian keuntungan dari pengembangan harta asuransi sebagai Mudhoorib (pengelola pengembangan modal dengan mudhorabah).
c. Perusahaan memiliki dua hitungan yang terpisah. Pertama untuk pengembangan modal perusahaan dan kedua hitungan harta asuransi dan sisa harta asuransi murni milik nasabah (pembayar premi).
d. Pengelola perusahaan bertanggung jawab apa yang menjadi tanggung jawab al-Mudhoorib dari aktivitas pengelolaan yang berhubungan dengan pengembangan modal sebagai imbalan bagian keuntungan mudhorabah, sebagaimana juga bertanggung jawab pada semua pengeluaran kantor asuransi sebagai imbalan fee (gaji) pengelolaan yang menjadi hak mereka. Sedangkan hubungan antara nasabah dengan perusahan asuransi dalam asuransi konvensional adalah semua premi yang dibayar nasabah (tertanggung) menjadi harta milik perusahaan yang dicampur dengan modal perusahaan sebagai imbalan pembayaran klaim asuransi. Sehingga tidak ada dua hitungan yang terpisah.
1. Nasabah dalam perusahaan asuransi ta’awun dianggap anggota syarikat yang memiliki hak terhadap keuntungan yang dihasilkan dari usaha pengembangan modal mereka. Sedangkan dalam asuransi konvensional, para nasabah tidak dianggap syarikat, sehingga tidak berhak sama sekali dari keuntungan pengembangan modal mereka bahkan perusahan sendirilah yang mengambil seluruh keuntungan yang ada.
2. Perusahaan asuransi ta’awun tidak mengembangkan hartanya pada hal-hal yang diharamkan. Sedangkan asuransi konvensional tidak memperdulikan hal dan haram dalam pengembangan hartanya.
HUKUM ASURANSI MENURUT ISLAM
Definisi asuransi adalah sebuah akad yang mengharuskan perusahaan asuransi (muammin) untuk memberikan kepada nasabah/klien-nya (muamman) sejumlah harta sebagai konsekuensi dari pada akad itu, baik itu berbentuk imbalan, Gaji atau ganti rugi barang dalam bentuk apapun ketika terjadibencana maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah bahaya sebagaimana tertera dalam akad (transaksi), sebagai imbalan uang (premi) yang dibayarkan secara rutin dan berkala atau secara kontan dari klien/nasabah tersebut (muamman) kepada perusahaan asuransi (muammin) di saat hidupnya.
Berdasarkan definisi di atas dapat dikatakan bahwa asuransi merupakan salah satu cara pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami musibah, yang dananya diambil dari iuran premi seluruh peserta asuransi.
Beberapa istilah asuransi yang digunakan antara lain:
A. Tertanggung, yaitu anda atau badan hukum yang memiliki atau berkepentingan atas harta benda
B. Penanggung, dalam hal ini Perusahaan Asuransi, merupakan pihak yang menerima premi asuransi dari Tertanggung dan menanggung risiko atas kerugian/musibah yang menimpa harta benda yang diasuransikan
ASURANSI KONVENSIONAL
A. Ciri-ciri Asuransi konvensional Ada beberapa ciri yang dimiliki asuransi konvensional, diantaranya adalah:
 Akad asurab si konvensianal adalah akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua balah pihak, pihak penanggung dan pihak tertanggung. Kedua kewajiban ini adalah keawajiban tertanggung menbayar primi-premi asuransi dan kewajiban penanggung membayar uang asuransi jika terjadi perietiwa yang diasuransikan.
 Akad asuransi ini adalah akad mu’awadhah, yaitu akad yang didalamnya kedua orang yang berakad dapat mengambil pengganti dari apa yang telah diberikannya.
 Akad asuransi ini adalah akad gharar karena masing-masing dari kedua belah pihak penanggung dan tertanggung pada eaktu melangsungkan akad tidak mengetahui jumlah yang ia berikan dan jumlah yang dia ambil.
 Akad asuransi ini adalah akad idz’an (penundukan) pihak yang kuat adalah perusahan asuransi karena dialah yang menentukan syarat-syarat yang tidak dimiliki tertanggung,
B. Asuransi dalam Sudut Pandang Hukum Islam Mengingat masalah asuransi ini sudah memasyarakat di Indonesia dan diperkirakan ummat Islam banyak terlibat di dalamnya, maka permasalahan tersebut perlu juga ditinjau dari sudut pandang agama Islam.
Ada beberapa pandangan atau pendapat mengenai asuransi ditinjau dari fiqh Islam. Yang paling mengemuka perbedaan tersebut terbagi tiga, yaitu:
I. Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, temasuk asuransi jiwa
Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqii (mufti Yordania), Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muth‘i (mufti Mesir”). Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah:
 Asuransi sama dengan judi
 Asuransi mengandung ungur-unsur tidak pasti.
 Asuransi mengandung unsur riba/renten.
 Asurnsi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau di kurangi.
 Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktek-praktek riba.
 Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai.
 Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah.
II. Asuransi konvensional diperbolehkan
Pendapat kedau ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar Hukum Islam pada fakultas Syari‘ah Universitas Syria), Muhammad Yusuf Musa (guru besar Hukum Isalm pada Universitas Cairo Mesir), dan Abd. Rakhman Isa (pengarang kitab al-Muamallha al-Haditsah wa Ahkamuha). Mereka beralasan:
 Tidak ada nash (al-Qur‘an dan Sunnah) yang melarang asuransi.
 Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.
 Saling menguntungkan kedua belah pihak.
 Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan.
 Asuransi termasuk akad mudhrabah (bagi hasil)
 Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Ta‘awuniyah).
 Asuransi di analogikan (qiyaskan) dengan sistem pensiun seperti taspen.
III. Asuransi yang bersifat sosial di perbolehkan dan yang bersifat komersial diharamkan
Pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abdu Zahrah (guru besar Hukum Islam pada Universitas Cairo).
Alasan kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial (haram) dan sama pula dengan alasan kelompok kedua, dalam asuransi yang bersifat sosial (boleh).
Alasan golongan yang mengatakan asuransi syubhat adalah karena tidak ada dalil yang tegas haram atau tidak haramnya asuransi itu.
Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa masalah asuransi yang berkembang dalam masyarakat pada saat ini, masih ada yang mempertanyakan dan mengundang keragu-raguan, sehingga sukar untuk menentukan, yang mana yang paling dekat kepada ketentuan hukum yang benar.
Sekiranya ada jalan lain yang dapat ditempuh, tentu jalan itulah yang pantas dilalui. Jalan alternatif baru yang ditawarkan, adalah asuransi menurut ketentuan agama Islam.
Asuransi syariah
A. Prinsip-prinsip dasar asuransi syariah
Suatu asuransi diperbolehkan secara syar’i, jika tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan syariat Islam. Untuk itu dalam muamalah tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
 Asuransi syariah harus dibangun atas dasar taawun (kerja sama ), tolong menolong, saling menjamin, tidak berorentasi bisnis atau keuntungan materi semata. Allah SWT berfirman,” Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”
 Asuransi syariat tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi tabarru’ atau mudhorobah.
 Sumbangan (tabarru’) sama dengan hibah (pemberian), oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.
 Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi menegakan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambilah sejumlah uang guna membantu orang yang sangat memerlukan.
 Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetepi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan oleh jamaah.
 Apabila uang itu akan dikembangkan, maka harus dijalankan menurut aturan syar’i.
B. Ciri-ciri asuransi syari’ah Asuransi syariah memiliki beberapa ciri, diantaranya adalah Sbb:
 Akad asuransi syari’ah adalah bersifat tabarru’, sumbangan yang diberikan tidak boleh ditarik kembali. Atau jika tidak tabarru’, maka andil yang dibayarkan akan berupa tabungan yang akan diterima jika terjadi peristiwa, atau akan diambil jika akad berhenti sesuai dengan kesepakatan, dengan tidak kurang dan tidak lebih. Atau jika lebih maka kelebihan itu adalah kentungan hasil mudhorobah bukan riba.
 Akad asuransi ini bukan akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua belah pihak. Karena pihak anggota ketika memberikan sumbangan tidak bertujuan untuk mendapat imbalan, dan kalau ada imbalan, sesungguhnya imbalan tersebut didapat melalui izin yang diberikan oleh jama’ah (seluruh peserta asuransi atau pengurus yang ditunjuk bersama).
 Dalam asuransi syari’ah tidak ada pihak yang lebih kuat karena semua keputusan dan aturan-aturan diambil menurut izin jama’ah seperti dalam asuransi takaful.
 Akad asuransi syari’ah bersih dari gharar dan riba.
 Asuransi syariah bernuansa kekeluargaan yang kental.
C. Manfaat asuransi syariah. Berikut ini beberapa manfaat yang dapat dipetik dalam menggunakan asuransi syariah, yaitu:
 Tumbuhnya rasa persaudaraan dan rasa sepenanggungan di antara anggota.
 Implementasi dari anjuran Rasulullah SAW agar umat Islam salimg tolong menolong.
 Jauh dari bentuk-bentuk muamalat yang dilarang syariat.
 Secara umum dapat memberikan perlindungan-perlindungan dari resiko kerugian yang diderita satu pihak.
 Juga meningkatkan efesiensi, karena tidak perlu secara khusus mengadakan pengamanan dan pengawasan untuk memberikan perlindungan yang memakan banyak tenaga, waktu, dan biaya.
 Pemerataan biaya, yaitu cukup hanya dengan mengeluarkan biaya yang jumlahnya tertentu, dan tidak perlu mengganti/ membayar sendiri kerugian yang timbul yang jumlahnya tidak tertentu dan tidak pasti.
 Sebagai tabungan, karena jumlah yang dibayar pada pihak asuransi akan dikembalikan saat terjadi peristiwa atau berhentinya akad.
 Menutup Loss of corning power seseorang atau badan usaha pada saat ia tidak dapat berfungsi(bekerja).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar